Selasa, 25 Agustus 2009

Bahasa dan Jenis Kelamin

0

Kurath (1939:43) mengemukakan “…they shoul be male because in the Western nation women’s speech tends to be more self-conscious and classconcious than mens…” (…mereka, yaitu responden haruslah laki-laki karena dalam masyarakat barat tutr wanita itu cenderung lebih sadar-diri dan sadar kelas daripada laki-laki…)
Orton (1962:15) mengemukakan “…in this country (England) men speak vernacular more frequently, more consistenly, and more genuinely than women, and the same could be true elsewhere..” (…di negara (Inggris) laki-laki lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya, lebih taat asaa, dan lebih rapi daripada perempuan, dan hal semacam ini bisa berlaku di mana saja…
Watrburg (1925:133) mengemukakan “ Everyone knows that as far as language is concerned women are more conservative than men, they conserve the speech of ours forbears more faithfully” (Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang tahu wanita itu lebih konservatif daripada pria, mereka lebih fanatik menyimpan tutur warisan bahasa kita)
Coates (1987:42) mengemukakan “Women hardly ever leave their village, unlike men;women stay at home and talk ‘chat’ to each other and don’t mix with strangers;women don’t do militaryservice” (Wanita itu hampir tidak pernah meninggalkan desanya, tidak seperti pria;wanita tinggal di rumah dan ngobrol dengan sesama wanita yang lain, dan tidak bergaul dengan orang asing, wanita tidak mengikuti wajib militer)
Mc Intosh (1952) mengemukakan “As to sex, there is no evidence which shows conclusively whether men or womwn better informants in Scotland” (Dalam hubungan dengan jenis kelamin, tidak ada bukti yang konklusif apakah pria atau wanita yang lebih baik jadi informan di Skotlandia

Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah
• Perbedaan pria dengan wanita itu mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang menbarengi tutur. Hal lain dan yang umum ialah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah. Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur.

Suara dan Intonasi
• Banyak orang yang bisa mengenal suara pria atau wanita karena secara umum bisa dikatakan suara pria relatif lebih besar daripada wanita.
• Kita juga bisa merasakan dalam hal wicara, setidaknya terlihat pada beberapa suku di Indonesia, suara wanita lebih lembut dibandingkan dengan suara pria. Hal ini sedikit banyak berkaitan dengan nilai sosial (social value) atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang itu.
• Kita bisa melihat dalam hal intonasi, misalnya intonasi “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada wanita.

Fonem sebagai Ciri Pembeda
• Vokal pada tutur wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika, telah ditemukan posisinya lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih ke depan, ke belakang, lebih tinggi, atau lebih rendah) dibandingkan dengan vokal pria
• Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan wanita seperti tiu memeng tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena di antara kedua kelompok itu memeng tidak ada rintangan sosial. Jadi, perbedaan itu tidak bisa diterangkan atas dasar kelas sosial, dialek geografis, atau etnik.

Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kep.Antillen Kecil Hindia Barat, dan mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita “menggunakan bahasa yang berbeda”. Pengamatan menunjukkan mereka itu bukan mebggunakan bahasa yang berbeda, melainkan hanya ragam yang berbeda dalam satu bahasa, dan itu pun hanya menyangkut sejumlah kosakata dan frase. Pria mempunyai sejumlah kosakata dan frase khusus untuk mereka. Sebaliknya, para wanita juga mempunyai kosakata dan frase khusus yang tidak pernah digunakan kaum pria

Teori Tabu
 Tabu memegang peranan penting dalam bahasa.
 Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria

Teori Sistem Kekerabatan
• Bahasa Chiquito, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan ‘kakak saya laki-laki’, ia mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis kelamin saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata itu didasarkan atas jenis kelamin dari penutur atau orang yang menyapa
• Berbeda dengan di Indonesia, pembedaan didasrkan pada orang yang disapa atau yang disebut, bukan kepada orang yang bertutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari orang yang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah kemenakan orang-orang itu, tidak perduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan

Konservatif dan Inovatif
Ada situasi yang menari dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak bisa dijelaskan dengan teori tabu. Dalam bahasa Koasati (bahasa Indian Amerika), tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi /s/ pada bagian akhir kata, sedangkan pada wanita tidak demikian. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konservatif daripada tutur pria. Tutur pria bersifat inovatif atau pembaharuan

Sikap Sosial dan Kejantanan
• Ada perbedaan-perbedaan kecil yang kurang jelas dan sifatnya “di bawah sadar” ditemukan dalam penelitian terhadap bahasa Inggris di Amerika maupun di Inggris. Ada sejumlah kata dan frase cenderung terkait dengan jenis kelamin. Misalnya kata-kata sumpah serapah mungkin lebih cocok untuk pria daripada wanita.
• Perbedaan tata bahasa (gramatika) mungkin juga ada, sebagaimana terlihat dari hasil survai-survai pada dialek perkotaan
• Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial, pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda.
• Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan perbedaan bahasa yang ada
• Ragam bahasa berdasrkan kelompok etnik dan kelompok sosial adalah akibat dari jarak sosial (social distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah akibat dari perbedaan sosial (social difference)

Prestise Tersembunyi
• Kita sudah mempunyai culup banyak bukti nilai sosial (social value) dan peranan jenis kelamin (sex roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise ini, dan hal ini tampak pada wanita
• Penutur pria di Norwich, pada tingkat di bawah sadar, begitu menyenangi bentuk-bentuk tutur yang nonbaku dan berstatus rendah sedemikian rupa sehingga mereka mengaku menggunakan bentuk-bentuk ini meskipun mereka mereka tidak menggunakannya. Sebagian besar dari pria itu lebih tertarik menghendaki prestise tersembunyi daripada memperoleh status sosial. Bagi pria di Norwich tutur kelas buruh adalah penuh status (statusful) dan berprestise (prestigious). Perbedaan tampak pada wanita, yang menjadi pelapor meninggi. Perbedaan sikap ini menyebabkan perbedaan ragam pria-wanita

Wanita sebagai Pelopor Perubahan
• Di daerah Larvik, Norwich Selatan para wanita memelopori perubahan. Pertama, para bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak laki-laki mereka. Kedua, anak laki-laki lebih konservatif daripada ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan mereka. Ketiga, para wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk perkotaan yang lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria
• Peranan perbedaan jenis kelamin yang berperan dalam perubahan bahasa. Penutur pria cenderung lebih inovator, kecuali kalau perubahan itu terjadi ke arah norma baku. Jika perubahan itu ke arah norma baku, wanita cenderung menjadi pelopornya
• Jadi, ragam pria-wanita itu akibat perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku pria dan wanita, dan dari sikap yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Sikap ini sangat penting dalam situasi kependidikan


Penelitian di Indonesia
• Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Wanita lebih konservatif daripada pria
• Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) wanita itu bersifat “androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininan.
• Mengenai pemakaian bahasa daerah dan bahasa Indonesia, hasil penelitian Yayah B. Lumintaintang (1990) terhadap sejumlah keluarga “kawin campur” Jawa-Sunda atau Sunda-Jawa dihasilkan bahwa faktor etnik ikut mempengaruhi sikap laki-laki terhadap bahasa. Laki-laki bisa menjadi faktor pendorong pemakaian bahasa Indonesia, atau bisa pula tidak

Ragam Bahasa Waria dan “Gay”
• Waria (singkatan dari wanita-pria) atau wadam (Wanita-Adam atau Hawa-Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta berperilaku seperti atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan.
• Gay (Homoseks atau homo) merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki secara emosional-seksual.
• Dede Oetomo meneliti waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya. Bahasa mereka, sebagaimana model bahasa “rahasia” lainnya, tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum.
• Waria biasanya merupakan kelas “bawah” berasal dan beroperasi di kota kecil, sebagian “melacurkan diri” di tempat-tempat tertentu dan sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut dan sebagainya
• Gay berasal dari golongan kelas menengah di kota Surabaya dan orientasinya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih banyak menjadi bahasa kelas menengah ke atas. Tetapi, gay juga memakai bahasa Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay Itu dwibahasawan
• Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pertama, struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan; kedua, penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada

0

Masyarakat Aneka Bahasa

1. Nasionalitas dan Nasion
1. Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara “bangsa” dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah konsepsi Fishman (1968 a:1972) tentang nasionalitas (nationality) dan nasion (nation). Kita tidak bisa menerjemahkan kedua istilah itu denagn kebangsaan dan bangsa, sebab keduanya mempunyai makna yang tidak selaras bahkan mungkin bisa dianggap bertentangan.
2. Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai suatu satuan sosial (social unit) yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran lokal (wilayah)
3. Kelompok etnik merupakan organisasi sosiokultural yang “lebih sederhana”, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”
4. Menurut Fishman, nasion adalah “suatu satuan politik teritorial yang sebagian besar menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol (kendali) nasionalitas tertentu. Fishman tidak menjelaskan seberapa jauh kontrol nasionalitas atas wilayah itu sehingga suatu kelompok bisa disebut nasion
5. Batasan Fishman itu dapat dipakai untuk berbicara tentang negara multinasional atau negara anekabangsa (multinational) atau “bangsa yang terdiri dari berbagai bangsa”
6. Negara multinasinal itu lebih kurang stabil dibandingkan nasion-multietnik.

2. Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionisme
1. Nasionalisme adalah perasaan yang berkembang dari dan mendukung nasionalitas. Nasionisme lebih mengacu kepada masalah-masalah kekuasaan yang pragmatik
2. Menurut Fishman, peranan bahasa dalam nasionisme sangat gamblang. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionisme dalam dua bidang, yaitu bidang administras pemerintahan dan pendidikan
3. Proses memerintah itu memerluakn komunikasi, baik komunikasi antar lembaga maupun komunikasi antara pemerintah dengan rakyat
4. Sepanjang menyangkut nasionisme, bahas apa pun asalkan bisa menjalankan fungsi dengan baik akan menjadi pilihan terbaik
5. Pendidikan mememrlukan bahasa pengantar yang mampu mengalihkan pengetahuan secara efisien kepada anak
6. Peranan bahasa dalam nasionalisme di lain pihak lebih tidak kentara. Bahasa, bersama dengan kebudayaan, agama, dan sejarah merupakan komponen nasionalisme
7. Bahasa bertindak sebagai rantai penghubung dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan
8. Bahasa bukan hanya wahana bagi sejarah nasionalitas saja, melainkan juga merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Sepanjang menyangkut “keotentikan”, besarlah keuntungan nasionalitas itu jika ia mempunyai bahasa sendiri
9. Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme adalah “contrastiveself-identification” (identifikasi-diri yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot (1956) disebut “unifying and separating function” (fungsi yang menyatukan dan sekaligus memisahkan)
10. Istilah-istilah ini mengacu kepada perasaan warga nasionalitas yang menyatukan dan mengidentifikasikan diri dengan orang-orang lain yang berbicara dalam bahasa yang serupa, dan sekaligus mengontraskan (menghadapkan) dengan dan terpisahkan dari mereka yang tidak berbicara dalam bahasa serupa
11. Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam regional atau ragam sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh
12. Sikap orang Paraguay terhadap bahasa ternyata mendua (ambivalen). Bahasa Guarani dipakai untuk memenuhi fungsi “menyatukan dan memisahkan”
13. Paraguay memilih bahasa Guarani sebagai bahasa pendidikan, karena jelas bahasa itu dapat memperkuat nlai simbolik bahasa nasional dan karena itu juga menjalankan tujuan-tujuan nasionalisme

3. Keanekabahasaan sebagai Masalah
Keanekabahasaan bekerja berlawanan dengan arah nasinalisme. Negara-bangsa (nation-state) itu tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa, dan berdasarkan pentingnay bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa daripada negara ekabahasa
Masalah bahasa bagi nasionalisme lebih bersifat pragmatik daripada simbolik, maka pemecahan masalah yang bersifat nasionis sering menimbulkan masalah yang bersifat nasionalis
Bagi suatu nasionalitas yang baru saja memperoleh wilayah, bahasa yang diinginkan sebagai lambang nasional adalah bahasa dari negara yang menolak campur tangan dari luar
Masalah konflik antara nasionalisme dengan nasionisme, dalam dunia pendidikan, agak berbeda, Strategi bahasa terbaik bahasa dalam pendidikan ialah memakai berbagai bahasa etnik

4. Efek Keanekabahasaan Kemasyarakatan
Kalau benar bangsa yang anekabahasa itu mempunyai masalah-masalah yang tidak ada dalam bangsa ekabahasa tentu ada kemungkinan untuk menunjukkan bahwa negara-negara anekabahasa itu tidak beruntung, dan efek semacam itu harus dapat diukur dengan cara tertentu.
Pool (1972) mencoba meneliti masalh in dengan menganalisis 133 negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domestik Bruto (GDP). Ia menemukan:
Suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi negara tidak berkembang (miskin)
Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin
Suatu negara yang secara linguistik sangat heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin)
Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik



5. Bagaimana Bangsa Anekabahasa Berkembang
Dalam sejarah terbentuknya bangsa yang anekabahasa kita melihat setidak-tidaknya ada empat pola, yaitu:
Migrasi: Migrasi atau perpindahan penduduk yang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Kedua, sejumlah anggota etnik memasuki wilayah yang sudah di bawah kontrol nasionalitas lain.
Penjajahan: Proses penjajahan (politik, budaya, atau ekonomi) kontrol itu dipegang olehsejumlah orang yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol yang tinggal di wilayah baru itu. Bahasa asing meluncur masuk ke suatu negara tetapi nasionalitas pemilik bahasa asing itu tidak memegang kontrol politik. Ragam-ragam penajajahan itu mempunyai pengaruh dalam pengenalan bahasa penjajah ke masyarakat lain. Kadang-kadang orang penjajah itu pada akhirnya mungkin hanya sedikit sekali yang tinggal; tetapi bahasanya itulah yang justru memegang peranan penting. Dalam hal penjajahan politik atau aneksasi, bahasa penjajah dipakai di bidang pemerintahan dan pendidikan
Federasi: Yang dimaksud dengan federasi ialah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah kontrol politik satu negara. Ini bisa karena sukarela atau paksaan. Federasi paksaan terjadi karena pengaruh kolonialisasi di Asia dan Afrika. Berbagai negara anekabahasa digabungkan dengan paksa, sehingga pengaruh sosiolinguistiknya terasa sampai sekarang
Wilayah Tapal Batas: Asal mual keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan. Setiap negara harus memiliki tapal batas yang jelas. Komplikasi di wilayah perbatasan biasanya bisa dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah perang biasanya dipaksa untuk menyerahkan (sebagian) wilayahnya kepada yang menang.
Kemerdekaan Indonesia, 1945, sedikit banyak menumbuhkan “federasi” berbagai kelompok sosiokultural

6. Paraguay, India, dan Indonesia
Paraguay sangat dekat dengan multietnik. Ia memiliki bahasa nasional (Guarani) yang dipakai oleh sebagian warganya. Bahasa Guarani mengisi fungsi simbolik bahasa nasional itu, terutama dalam fungsi menyatukan dan memisahkan
India adalah “raksasa sosiolinguistik”. Khubchandani menyebut adanya 200 kelompok bahasa dan Grimes menyebut jumlah 312 bahasa di India. Fasold juga mengutip Le Page yang menyebut 844 bahasa, termasuk 63 bahasa “non-India”
India lebih banyak mengarah ke titik nasion multietnik daripada yang kita perkirakan sebelum in. Ukuran nasionalisme yang didasarkan atas pendukungan dan pemakaian bahasa tidaklah berlaku dengan baik di India
Tidak seperti Paraguay dan Idia, yang mengenal bahasa bekas penjajahnya. Indonesia tetap stabil dari situasi sosiolinguistik yang meraksasa, dan karena itu Indonesia lebih mengarah ke negara multietnik.
Masalahnya bagi Indonesia ialah bagaimana mengembangkan bahasa Indonesia itu bagi semua warga negara dan warga etnik tetapi tidak secara drastis mematikan bahasa etnik itu. Ini menyangkut masalah seperti diglosia, sikap bahasa, pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dll.

7. Diglosia dalam Masyarakat Anekabahasa
1. Ferguson melihat para penutur bahasa kadang-kadang memakai ragam tertentu untuk situasi tertentu dan memakai ragam lain untuk situasi lain. Kemudian ada suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa hidup berdampingan dengan peran masing-masing dalam masyarakat itu. Inilah yang disebut diglosia
2. Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia
Sikap penutur dalam guyup diglosia ialah bahwa H itu superior (unggul), lebih gagah, dan lebih nalar (logis)
3. Warisan tradisi tulis-menulis, mengacu kepada banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam H dan dikagumi warga guyup
4. Aspek diglosia yang penting adalah perbedaan pola pemerolehan bahasa ragam H dan L
Diglosia biasanya merupakan gejala yang stabil karena diglosia memang dikehendaki agar selalu ada dua ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup
5. Ciri tatabahasa, dapat dikatakan ada banyak perbedaan kaidah tatabahasa antara H dan L, meskipun keduanya merupakan bahasa yang sama
6. Dalam hal kosakata, sebagian besar kosakata H dan L memang sama, tetapi dalam situasi diglosia selalu saja ada kosakata yang berpasangan
7. Ciri fonologi, sistem bunyi H dan L itu membentuk suatu struktur fonologi tuggal, fonologi L merupakan sistem dasar dan unsur-unsur sebaran fonologi H merupakan sub-sistem (sistem bawahan) atau parasistem (sistem atasan)

Film dan Ragamnya

0

1. Pengertian Film

Film merupakan sebuah bentuk karya seni. Sebagai sebuah kesenian, film terdiri atas berbagai bentuk kesenian yang hadir dan menyatu. Film dapat dikatakan sebagai sebuah seni pertunjukan yang bersifat audiovisual dan merupakan rangkaian dari seni drama atau teater, seni gerak, dan seni musik Selain itu, film merupakan alat komunikasi massa. Pesan dan komunikasi terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film. Tujuannya ada yang sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin keduanya.
Definisi lain mengenai film dikemukakan oleh Suprapto (1993:30) yang menyatakan bahwa film merupakan cerita atau lakon yang berupa gambar hidup. Setelah dunia perfilman berkembang pesat, pengertian film pun juga meluas. Undang-undang perfilman No. 6 Tahun 1997, Bab I, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar (audiovisual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, piringan video, atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya (Baksin, 2003:6).
Dari undang-undang perfilman di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan film tidak hanya sekadar film cerita yang diputar di bioskop, tetapi lebih dari itu. Film-film yang dibuat untuk televisi (termasuk sinetron) dan VCD bahkan hasil temuan lain nantinya di masa yang akan datang menggunakan asas sinematografi.
Sutrisno (1999:83) mengatakan bahwa film tidak hanya menunjukkan sebuah fiksi atau rekaan, drama, tari, musik, psikologi, agama, dan filsafat saja, tetapi film juga merupakan “jembatan” antara dunia fantasi dengan dunia nyata sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan film mudah mencekam dan juga meninggalkan ingatan lebih lama pada diri penontonnya.

2. Apresiasi Film

Setiap bentuk kesenian, seperti seni musik, seni sastra, seni tari, maupun seni rupa memerlukan apresiasi dari penikmat. Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran sebuah karya seni. Apresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungan dengan film dan pengalaman menikmati film, apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati, dan menghargai. Dalam hubungan dengan kegiatan menikmati film, jelas seseorang tidak akan dapat menikmati karya film sebelum ia memahami dan merasakan apa yang terkandung dalam karya film itu (Sumarno, 1996:95). Menghayati media komunikasi visual lebih sederhana tuntutannya dibandingkan dengan menghayati media yang lain. Media visual juga dipandang paling efektif, karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan tingkat pendidikan, usia, dan kecerdasan.
Monaco (Sumarno, 1996:27) menyatakan latar belakang sosial budaya justru mempengaruhi bagaimana seseorang menghayati film. Pengalaman dalam menikmati film menyerupai pengalaman dalam menghayati bahasa. Artinya, orang yang berpengalaman dalam menghayati film akan lebih banyak melihat dan mendengar dibandingkan dengan orang yang jarang melihat film, sehingga terjadilah suatu proses mental. Pada umumnya proses mental ini kurang disadari ketika seseorang menikmati sebuah film. Jadi, film juga harus dibaca tidak hanya sekedar ditonton saja.
Latihan mempersepsi dan memahami film yang disebut mengapresiasi film berguna untuk (1) memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukan film; (2) dapat menghargai film yang baik dan mengesampingkan film yang buruk; dan (3) dapat menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul dari film (Sumarno, 1996:28).
Apresiasi film harus dilakukan secara seimbang antara unsur estetik (keindahan) dan unsur progresif (muatan-muatan ide yang ditawarkan). Artinya, apresiasi terhadap film dilakukan tidak hanya berupa apresiasi seni, tetapi juga terhadap apresiasi kebudayaan yang melahirkan film itu.
Keseimbangan apresiasi ini membuat seseorang tidak akan terjebak pada pengertian seni untuk seni. Kemampuan film mengungkapkan sesuatu benar-benar tak terbatas, termasuk cara-cara pendekatan terhadapnya. Apresiasi yang seimbang dapat menempatkan pandangan film bukan sekadar barang dagangan atau hanya barang seni, melainkan juga karya ekspresi kebudayaan sebagai hasil penjelajahan dan pergulatan tentang kehidupan manusia.

3. Jenis-Jenis Film

Menurut Baksin (2003:93—94) berdasarkan temanya film terdiri dari sembilan jenis, yaitu (1) drama, (2) action, (3) komedi, (4) tragedi, (5) horor, (6) dramaaction, komeditrage, (8) komedihoror, dan (9) parodi.
Film drama mengetengahkan aspek-aspek human interest sehingga yang menjadi sasaran adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema film juga dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya. Jika kejadian ada di sekitar keluarga, disebut film drama keluarga. Jika kejadian itu dengan setting pembajakan, biasa disebut film drama pembajakan.
Film action, sesuai dengan istilahnya, selalu berkaitan dengan perkelahian, tembak-tembakan, atau kebut-kebutan. Film jenis ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi “pertarungan” secara fisik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Film komedi berbeda dengan lawak. Dalam lawak biasanya yang berperan adalah para pelawak. Film komedi tidak harus dilakonkan oleh pelawak, tetapi juga oleh bintan film biasa. Film komedi selain membuat penontonnya tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak, biasanya adegan film komedi juga merupa sindiran atau satir dari suatu kejadian atau fenomena yang sedang terjadi. Film komedi ada dua jenis, yaitu komedi slaptik dan komedi situasi. Komedi slaptik adalah komedi yang memperagakan adegan konyol, seperti sengaja jatuh, dilempar kue, dan sebagainya. Komedi situasi adalah adegan lucu yang muncul dari situasi yang dibentuk dalam alur film.
Film tragedi menitikberatkan pada nasib manusia. Sebuah film dengan akhir ceritanya sang tokoh selamat dari perampokan, kebanjiran, dan lainnya bisa disebut film tragedi.
Film horor merupakan sebuah film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan. Suasana horor dalam film ini bisa dibuat dengan cara animasi, special effect, atau langsung oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut.
Film drama action merupakan gabungan dari dua tema film, drama dan action. Film jenis ini menyuguhkan drama dan juga adegan pertengkaran fisik. Untuk menandainya dapat dilihat dengan cara melihat alur cerita film. Biasanya film dimulai dengan suasana drama, setelah itu alur meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang berupa pertengkaran-pertengkaran.
Film komedi trage, suasana komedi ditunjukkan terlebih dahulu kemudian disusul dengan adegan-adegan tragis. Suasana yang dibangun memang getir sehingga penonton terbawa emosinya dalam suasana tragis, tetapi terbungkus dengan suasana komedi.
Film komedi horor merupakan gabungan antara tema komedi dan horor. Biasanya film jenis ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Dalam konteks ini, unsur ketegangan yang bersifat menakutkan dibalut dengan adegan komedi sehingga unsur kengeriannya menjadi lunak.
Film parodi merupakan duplikasi dari tema film tertentu, tetapi diplesetkan sehingga ketika sebuah film parodi ditayangkan para penonton akan melihat suatu adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa. Penonton yang sering menonton film tentu saja paham kalau film parodi selalu mengulang adegan film lain dengan pendekatan komedi. Jadi, film parodi berdimensi duplikasi film yang sudah ada lantas dikomedikan.
Film (dalam Sumarno, 1996:10) dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film noncerita. Definisi lain mengenai film (dalam Apriaji, 2006:12) dibagi menjadi film cerita, film noncerita, film eksperimental, dan animasi.
Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film cerita memiliki berbagai jenis atau genre. Dalam hal ini, genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk, atau isi tertentu. Ada yang disebut film drama, film horor, film perang, film sejarah, film fiksi-ilmiah, film komedi, film laga (action), film musikal, dan film koboi.
Film noncerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jika film noncerita memiliki berbagai jenis, demikian pula yang tergolong pada film noncerita. Namun, pada mulanya hanya ada dua tipe film noncerita ini, yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film faktual.
Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta. Kamera sekedar merekam peristiwa. Saat ini film factual tetap hadir dalam bentuk fim berita (news reel) dan film dokumentasi. Film berita lebih menitikberatkan pada segi pemberitaan suatu kejadian aktual, misalnya film berita yang banyak terdapat dalam siaran televisi. Sementara itu, film dokumentasi hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi peristiwa perang atau dokumentasi upacara kenegaraan.
Film dokumenter, selain mengandung fakta juga mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.
Film eksperimental adalah film yang tidak dibuat dengan kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film.
Film animasi adalah film yang memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi. Prinsip teknik animasi sama dengan pembuatan film dengan subjek yang hidup, yang memerlukan ± 24 gambar per detik untuk menciptakan ilusi gerak. Sedikit banyaknya gambar per detik itu menentukan kasar dan halus pada ilusi gerak yang tercipta. Film animasi dengan materi rentetan lukisan di kertas yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan film kartun yang terbanyak diproduksi di mana-mana.

4. Unsur-Unsur Film
Unsur-unsur sebuah film serupa dengan unsur-unsur sebuah drama. Menurut Eneste (1991:19) ada empat unsur, yaitu (1) tema, (2) penokohan (karakter tokoh), (3) latar cerita atau setting, dan (4) alur. Berikut uraian dari keempat unsur-unsur film tersebut.

4.1 Tema Cerita
Film mempunyai tema tertentu, yakni inti persoalan yang hendak diutarakan atau disampaikan oleh pembuat film kepada penonton. Tema itu harus dituangkan dalam gambar-gambar sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Besar kecilnya tema film bukan merupakan jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keterbasan tema juga dibatasi oleh keterbatasan teknis film. Kalau tema yang difilmkan terlalu luas, maka waktu putarnya akan lebih lama. Inti cerita atau premise akan menjadi dasar dalam bentuk plot cerita (plotline).

4.2 Penokohan (Karakter Tokoh)
Seperti halnya drama, film juga mempunyai tokoh atau pelaku. Penokohan dalam film diungkapkan melalui berbagai cara, antara lain pengungkapan dialog tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, perbuatan tokoh, lingkungan tokoh, dan lain-lain. Tokoh dalam film hadir langsung di hadapan penonton, dari penampilan tokoh film secara langsung, penonton dapat mengetahui sifat atau karakter, sikap, dan kecenderungan sang tokoh. Gambar-gambar yang nampak dalam film akan berbicara sendiri mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam film.
Karakter adalah pemain yang melakukan dialog dalam scene dan selalu ditulis dalam huruf besar. Karakter dapat berupa manusia (laki-laki dan perempuan), hewan, robot, komputer, atau makluk-makluk tertentu yang berperan dalam isi dialog. Karakter dalam skenario mencerminkan peranan, emosi, keterampilan, dan tugas-tugas yang diembannya. Jalannya sebuah cerita dalam skenario ditentukan dari gerak dan motivasi sang karakter.
Secara garis besar terdapat 5 pembagian jenis-jenis karakter yang mewarnai sebuah cerita (Set & Sidharta, 2003:74). Pertama, Karakter protagonis. Karakter ini sering disebut sebagai karakter utama. Ia mewakili sisi kebaikan dan mencerminkan sifat-sifat kebenaran yang mewarnai setiap aktivitasnya dalam cerita. Pada beberapa naskah, karakter ini biasanya mewakili sosok pahlawan, pembela kebenaran, atau tokoh yang memikul tanggung jawab.
Kedua, Karakter sidekick. Karakter ini berpasangan dengan karakter protagonis. Tugasnya membantu setiap tugas yang diemban sang karakter protagonis. Karakter ini biasanya bertindak sebagai teman, guardian, penolong atau guru yang membantu sang protagonis.
Ketiga, Karakter antagonis. Karakter antagonis selalu berlawanan dengan karakter protagonis. Ia selalu berupaya menggagalkan setiap upaya karakter protagonis dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Kita sering melihat karakter ini dilambangkan sebagai musuh atau orang jahat yang berhadapan langsung dengan tokoh protagonis.
Keempat, Karakter kontagonis. Kontagonis adalah karakter yang membantu setiap aktivitas yang dilakukan karakter antagonis dalam menggagalkan langkah sang protagonis. Tokoh ini biasanya dilambangkan sebagai tokoh yang licik.
Kelima, Karakter skeptis. Sesuai dengan sifat skeptis yang disandangnya, tokoh ini adalah karakter tokoh yang paing tidak peduli terhadap aktivitas yang dilakukan sang tokoh protagonis . Ia selalu menganggap tokoh protagonis sebagai pecundang. Walaupun bukan lawan, tokoh ini selalu meuncul mengacaukan segala rencana yang dijalankan sang protagonis. Tokoh ini biasa dilambangkan sebagai tokoh yang keras kepala atau tokoh yang selalu mencurigai gerak-gerik tokoh protagonis.

4.3 Latar Cerita (Setting)
Setting adalah tempat dan berlangsungnya cerita film (Sumarno, 1996:66). Setting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton. Pertama, setting menunjukkan tentang waktu atau masa berlangsungnya cerita. Kedua, tentang tempat terjadinya peristiwa, bagaimana dengan lingkungan masyarakatnya, adat kebiasaan, semua itu harus disampaikan dengan tepat sebab syarat utama sebuah film harus tampak meyakinkan.
Penciptaan setting berarti penciptaan konsep visual secara keseluruhan. Hal itu juga menyangkut pakaian-pakaian yang harus dikenakan pada tokoh film, bagaimana tata riasnya, dan barang-barang (properti) apa yang harus ada.
Latar dalam film mempunyai fungsi dramatik. Oleh sebab itu, seorang penulis skenario dalam mencari properti yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak properti yang tersedia dalam kehidupan ini. Properti tersebut harus mampu berbicara kepada penonton film, tanpa penjelasan apa-apa dari penulis skenario atau sutradara.

4.4 Alur (Plot)
Plot adalah jalan cerita atau alur cerita awal, tengah, dan akhir (Set & Sidharta, 2003:26). Struktur plotline yang diawali dengan konflik, komplikasi, dan resolusinya biasa disebut dengan struktur dasar dalam membangun sebuah cerita.
Set & Sidharta (2003:30) menjelaskan plotline terbagi menjadi 3, yaitu Pertama, Awal – konflik A dan perkenalan konflik B. Cerita berawal dengan pengenalan tokoh utama dan dunianya. Tokoh ini menginginkan sesuatu, namun sesuatu itu berbenturan dengan dunianya. Berbagai masalah muncul sehubungan dengan usaha tokoh utama dalam mencapai tujuannya. Pada saat yang sama tokoh lain yang berhubungan dengan tokoh utama juga mempunyai konflik yang tidak terpecahkan. Pada akhir babak pertama tokoh utama telah memutuskan untuk mengejar apa yang ia inginkan.
Kedua, Tengah – komplikasi masalah, resolusi sementara konflik utama, resolusi konflik minor. Konfik tokoh utama menjadi lebih rumit karena benturan dengan dunianya lebih keras dari yang ia duga. Masalah-masalah yang ada lebih susah dari yang ia kira. Ia memutuskan untuk meninggalkan dunianya dan memasuki dunia yang lain. Keputusan memberikan solusi sementara yang berakibat dunia lamanya berantakan sehingga tokoh utama menarik dirinya dari dunia baru dan kembali ke dunia lama. Sementara itu, konflik minor yang dihadapi tokoh pembantu menemukan solusinya meskipun mungkin tidak sepenuhnya terselesaikan. Tokoh utama mendapati dunia lamanya tidak menarik lagi, tetapi ada konflik baru yang menghadangnya sehingga ia berada di persimpangan jalan atau titik point of no return dan ia harus memutuskan melalui deux et machine (kejutan atau tangan Tuhan) atau solusi natural, apakah ia akan berusaha mendapatkan dunia barunya atau tetap berada di dunia lama.
Ketiga, Akhir – Resolusi masalah utama, resolusi masalah lainnya. Tokoh utama menyadari bahwa untuk menyelesaikan konflik dunianya tidak akan bisa sama lagi. Tokoh utama memasuki dunia baru dimana dia mendapatkan/gagal apa yang ia inginkan. Plotline B harus sudah mencapai solusinya di tengah babak 3. Plotline A mendapat solusinya di akhir cerita, baik sedih atau bahagia.
Film mempunyai keterbatasan ruang teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu, film sering memakai alur tunggal saja. Walaupun demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Dalam sebuah film seorang sutradara harus memperhatikan unsur ketegangan. Hal ini dimaksudkan untuk memancing rasa ingin tahu penonton supaya mengikuti cerita film secara keseluruhan.

UJARAN BAHASA PENDERITA STROKE YANG MENGALAMI AFASIA BROCA

2

Manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Bahasa tersusun dari kata-kata yang masing-masing merupakan simbol dari suatu benda atau gagasan yang terekam oleh kesadaran manusia. Bahasa merupakan alat yang sistematis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda yang disepakati yang mengandung makna untuk dapat dipahami.
Kemampuan berbahasa sangat memperbesar kemampuan kualitatif otak manusia yang terdiri atas beberapa unsur anatomis yang berbeda. Kemampuan kualitatif tersebut adalah kemampuan untuk mengungkapkan gejala secara menyeluruh mengenai otak. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan adanya serebrum, yang dibagi dalam dua bagian besar, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Menurut penelitian, hemisfer secara terpisah menunjukkan bahwa hemisfer kiri bertanggung jawab untuk pengelolaan terhadap bahasa dan bicara, sedangkan hemisfer kanan mengendalikan keterampilan yang berkaitan dengan proses visualisasi dan spasial.
Dominasi hemisfer kiri untuk berbahasa tersebut sudah dibuktikan secara klinis oleh neurologi. Broca (ilmuwan Prancis) menemukan suatu area pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan menimbulkan kesulitan berkata-kata, tetapi penderita dapat mengerti pembicaraan. Salah satu penyebab gangguan berbahasa adalah stroke. Stroke merupakan penyakit syaraf yang menyerang fungsi otak akibat adanya kelainan pembuluh darah otak yang berlangsung lebih dari 24 jam, menimbulkan kerusakan pada salah satu hemisfer, maka secara teoretis, kemungkinan terjadi afasia adalah 25% dari insiden atau terjadinya stroke.
Peningkatan terjadinya penyakit-penyakit neurologis, salah satunya stroke tersebut dapat diantisipasi dengan kecanggihan ilmu dan teknologi kedokteran. Secara bertahap, penderita dapat dibimbing untuk melakukan fisioterapi secara aktif dengan memperhatikan prinsip-prinsip terapi gangguan berbahasa atau afasia.
Afasia Broca merupakan salah satu penyakit yang menjangkit penderita stroke karena peredaran darah di otak pecah. Penderita stroke yang mengalami afasia Broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan berbahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan berbahasa tersebut, diperparah lagi dengan hilangnya kemampuan dalam mengujarkan atau menirukan ujaran bunyi-bunyi vokal.

a. Definisi Afasia
Kemampuan berbahasa seseorang tergantung pada kematangan otaknya. Otak manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Masing-masing hemisfer tersebut dapat mengalami gangguan berbahasa, karena tersumbatnya peredaran darah di otak.
Afasia ialah penyakit bertutur yang berupa terganggunya kemampuan linguistik dalam komunikasi verbal karena tidak beresnya atau terganggunya hemisfer kiri. Seseorang yang menderita afasia dapat diartikan bahwa hilangnya kemampuan untuk membentuk kata-kata, sehingga konservasi tidak dapat berlangsung dengan baik, oleh karena itu dia tidak mampu mengatakan dalam kata-kata apa yang ia ingini atau yang ia maksud.

b. Sebab-sebab Afasia
Afasia terjadi karena tersumbatnya peredaran darah di otak bagian kiri yang mengurusi soal bahasa. Menurut beberapa ahli, otak merupakan pusat dari berbagai fungsi dan sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, diantaranya adalah fungsi bahasa dan bicara. Adanya gangguan atau kelainan yang terjadi pada otak akan menimbulkan kelainan pada fungsi atau sistem tertentu. Salah satu penyebab gangguan berbahasa atau afasia adalah stroke. Stroke terjadi ketika darah tidak dapat mencapai bagian dari otak. Penyebab tersebut bergantung pada lokalisasi kerusakan atau lesi tersebar maupun lokal.

c. Afasia Broca
Afasia Broca lazim disebut afasia ekspresif. Secara demikian kerusakan yang menyebabkan afasia Broca terletak di lapisan permukaan daerah Broca (lesi kortikal). Pada afasia ini, letak lesi adalah di daerah perisylvian kiri, di bagian posterior dari frontal convulition ketiga dekat dengan insula. Afasia ini memiliki karakter-karakter sendiri bila dibandingkan dengan afasia sensorik. Karakter tersebut ditandai dengan cara berbicara yang sulit, sehingga kata-kata yang dikeluarkan sedikit. Penderita tidak dapat mengatur sistem vokal untuk menghasilkan kata-kata.
Penderita stroke yang mengalami afasia Broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan bahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan dalam mengujarkan atau menirukan ujaran-ujaran bunyi vokal. Gejala utama pada penderita afasia Broca adalah kesulitan dalam bertutur yang dapat terjadi dalam berbagai derajat keparahan. Gejala-gejala lain yang menyertai afasia Broca adalah kelumpuhan anggota gerak tubuh bagian kanan, gangguan indera, perubahan tingkah laku, perubahan emosi, dan perubahan kepribadian (perubahan pada psikologisnya).
Kemampuan dan ketidakmampuan penderita dalam mengujarkan bunyi vokal didasarkan pada kerusakan yang terjadi pada otak. Pada afasia Broca, kerusakan otak disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang dapat menghasilakan perdarahan dalam otak.
Ujaran yang diucapkan oleh penderita sangat terbatas, hanya beberapa bunyi vokal seperti /a/, /i/, dan /u/. Penderita afasia Broca sulit dalam mengujarkan beberapa bunyi vokal meskipun sebenarnya ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Hal ini terbukti ketika ia diminta keterangan ia selalu mengangguk dan menggeleng.
Kemampuan penderita stroke dalam mengujarkan bunyi konsonan mengalami perkembangan yang tidak begitu besar dibanding dengan kemampuannya dalam mengujarkan bunyi vokal. Kemampuan mengujarkan bunyi konsonan sangat terbatas. Penderita hanya mampu mengujarkan beberapa konsonan dari keseluruh konsonan yang ada. Ketidakmampuan dalam mengujarkan beberapa konsonan tersebut mengakibatkan penyimpangan fonologis terhadap bunyi konsonan yang diujarkannya. Penderita mengalami kesulitan yang luar biasa. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh kerja otak yang tidak bisa mengorganisir pesan yang disampaikan ke otak bagian kiri (pemahaman bahasa) untuk dijadikan ujaran.

Kamis, 14 Mei 2009

0

Bahasa dan Jenis Kelamin

Kurath (1939:43) mengemukakan “…they shoul be male because in the Western nation women’s speech tends to be more self-conscious and classconcious than mens…” (…mereka, yaitu responden haruslah laki-laki karena dalam masyarakat barat tutr wanita itu cenderung lebih sadar-diri dan sadar kelas daripada laki-laki…)
Orton (1962:15) mengemukakan “…in this country (England) men speak vernacular more frequently, more consistenly, and more genuinely than women, and the same could be true elsewhere..” (…di negara (Inggris) laki-laki lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya, lebih taat asaa, dan lebih rapi daripada perempuan, dan hal semacam ini bisa berlaku di mana saja…
Watrburg (1925:133) mengemukakan “ Everyone knows that as far as language is concerned women are more conservative than men, they conserve the speech of ours forbears more faithfully” (Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang tahu wanita itu lebih konservatif daripada pria, mereka lebih fanatik menyimpan tutur warisan bahasa kita)
Coates (1987:42) mengemukakan “Women hardly ever leave their village, unlike men;women stay at home and talk ‘chat’ to each other and don’t mix with strangers;women don’t do militaryservice” (Wanita itu hampir tidak pernah meninggalkan desanya, tidak seperti pria;wanita tinggal di rumah dan ngobrol dengan sesama wanita yang lain, dan tidak bergaul dengan orang asing, wanita tidak mengikuti wajib militer)
Mc Intosh (1952) mengemukakan “As to sex, there is no evidence which shows conclusively whether men or womwn better informants in Scotland” (Dalam hubungan dengan jenis kelamin, tidak ada bukti yang konklusif apakah pria atau wanita yang lebih baik jadi informan di Skotlandia

Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah
• Perbedaan pria dengan wanita itu mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang menbarengi tutur. Hal lain dan yang umum ialah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah. Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur.

Suara dan Intonasi
· Banyak orang yang bisa mengenal suara pria atau wanita karena secara umum bisa dikatakan suara pria relatif lebih besar daripada wanita.
Kita juga bisa merasakan dalam hal wicara, setidaknya terlihat pada beberapa suku di Indonesia, suara wanita lebih lembut dibandingkan dengan suara pria. Hal ini sedikit banyak berkaitan dengan nilai sosial (social value) atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang itu.
Kita bisa melihat dalam hal intonasi, misalnya intonasi “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada wanita.

Fonem sebagai Ciri Pembeda
• Vokal pada tutur wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika, telah ditemukan posisinya lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih ke depan, ke belakang, lebih tinggi, atau lebih rendah) dibandingkan dengan vokal pria
• Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan wanita seperti tiu memeng tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena di antara kedua kelompok itu memeng tidak ada rintangan sosial. Jadi, perbedaan itu tidak bisa diterangkan atas dasar kelas sosial, dialek geografis, atau etnik.

Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kep.Antillen Kecil Hindia Barat, dan mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita “menggunakan bahasa yang berbeda”. Pengamatan menunjukkan mereka itu bukan mebggunakan bahasa yang berbeda, melainkan hanya ragam yang berbeda dalam satu bahasa, dan itu pun hanya menyangkut sejumlah kosakata dan frase. Pria mempunyai sejumlah kosakata dan frase khusus untuk mereka. Sebaliknya, para wanita juga mempunyai kosakata dan frase khusus yang tidak pernah digunakan kaum pria

Teori Tabu
© Tabu memegang peranan penting dalam bahasa.
© Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria

Teori Sistem Kekerabatan
• Bahasa Chiquito, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan ‘kakak saya laki-laki’, ia mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis kelamin saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata itu didasarkan atas jenis kelamin dari penutur atau orang yang menyapa
• Berbeda dengan di Indonesia, pembedaan didasrkan pada orang yang disapa atau yang disebut, bukan kepada orang yang bertutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari orang yang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah kemenakan orang-orang itu, tidak perduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan

Konservatif dan Inovatif
Ada situasi yang menari dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak bisa dijelaskan dengan teori tabu. Dalam bahasa Koasati (bahasa Indian Amerika), tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi /s/ pada bagian akhir kata, sedangkan pada wanita tidak demikian. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konservatif daripada tutur pria. Tutur pria bersifat inovatif atau pembaharuan

Sikap Sosial dan Kejantanan
• Ada perbedaan-perbedaan kecil yang kurang jelas dan sifatnya “di bawah sadar” ditemukan dalam penelitian terhadap bahasa Inggris di Amerika maupun di Inggris. Ada sejumlah kata dan frase cenderung terkait dengan jenis kelamin. Misalnya kata-kata sumpah serapah mungkin lebih cocok untuk pria daripada wanita.
• Perbedaan tata bahasa (gramatika) mungkin juga ada, sebagaimana terlihat dari hasil survai-survai pada dialek perkotaan
• Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial, pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda.
• Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan perbedaan bahasa yang ada
• Ragam bahasa berdasrkan kelompok etnik dan kelompok sosial adalah akibat dari jarak sosial (social distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah akibat dari perbedaan sosial (social difference)

Prestise Tersembunyi
• Kita sudah mempunyai culup banyak bukti nilai sosial (social value) dan peranan jenis kelamin (sex roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise ini, dan hal ini tampak pada wanita
• Penutur pria di Norwich, pada tingkat di bawah sadar, begitu menyenangi bentuk-bentuk tutur yang nonbaku dan berstatus rendah sedemikian rupa sehingga mereka mengaku menggunakan bentuk-bentuk ini meskipun mereka mereka tidak menggunakannya. Sebagian besar dari pria itu lebih tertarik menghendaki prestise tersembunyi daripada memperoleh status sosial. Bagi pria di Norwich tutur kelas buruh adalah penuh status (statusful) dan berprestise (prestigious). Perbedaan tampak pada wanita, yang menjadi pelapor meninggi. Perbedaan sikap ini menyebabkan perbedaan ragam pria-wanita

Wanita sebagai Pelopor Perubahan
• Di daerah Larvik, Norwich Selatan para wanita memelopori perubahan. Pertama, para bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak laki-laki mereka. Kedua, anak laki-laki lebih konservatif daripada ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan mereka. Ketiga, para wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk perkotaan yang lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria
• Peranan perbedaan jenis kelamin yang berperan dalam perubahan bahasa. Penutur pria cenderung lebih inovator, kecuali kalau perubahan itu terjadi ke arah norma baku. Jika perubahan itu ke arah norma baku, wanita cenderung menjadi pelopornya
• Jadi, ragam pria-wanita itu akibat perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku pria dan wanita, dan dari sikap yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Sikap ini sangat penting dalam situasi kependidikan


Penelitian di Indonesia
• Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Wanita lebih konservatif daripada pria
• Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) wanita itu bersifat “androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininan.
• Mengenai pemakaian bahasa daerah dan bahasa Indonesia, hasil penelitian Yayah B. Lumintaintang (1990) terhadap sejumlah keluarga “kawin campur” Jawa-Sunda atau Sunda-Jawa dihasilkan bahwa faktor etnik ikut mempengaruhi sikap laki-laki terhadap bahasa. Laki-laki bisa menjadi faktor pendorong pemakaian bahasa Indonesia, atau bisa pula tidak

Ragam Bahasa Waria dan “Gay”
• Waria (singkatan dari wanita-pria) atau wadam (Wanita-Adam atau Hawa-Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta berperilaku seperti atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan.
• Gay (Homoseks atau homo) merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki secara emosional-seksual.
• Dede Oetomo meneliti waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya. Bahasa mereka, sebagaimana model bahasa “rahasia” lainnya, tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum.
• Waria biasanya merupakan kelas “bawah” berasal dan beroperasi di kota kecil, sebagian “melacurkan diri” di tempat-tempat tertentu dan sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut dan sebagainya
• Gay berasal dari golongan kelas menengah di kota Surabaya dan orientasinya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih banyak menjadi bahasa kelas menengah ke atas. Tetapi, gay juga memakai bahasa Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay Itu dwibahasawan
• Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pertama, struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan; kedua, penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada

Sosiolinguistik

0

SOSIOLINGUISTIK DAN ILMU-ILMU LAINNYA

1. Berbagai Batasan:
- Holliday (1970), menyebut sosiologuistik sebagai linguistik institusional (institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a language and the people who use it).
- Pride dan Holmes (1972):...the study of language as part of culture and society (bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat).
- Holmes dan Hudson (1980): the study of languge in relation to society (kajian tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat.
Warna batasan Sosiolinguistik, meliputi 3 hal, yaitu: bahasa, masyarakat, dan hubungan antara masyarakat dengan bahasa

2. Sosiolinguistik dengan sosiologi:
- Secara konkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti keluarga, Clan (sub suku), bangsa.
- Sosiolinguistik memiliki persamaan dengan sosiologi, artinya sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu
- Ragam bahasa menjadi salah satu objek sosiolinguistik
- Objek utama sosiologi bukan bahasa, melainkan masyarakat,
Tujuan: mendiskripsikan masyarakat dan tingkah laku
- Objek utama sosiolinguistik: Variasi bahasa, bukan masyarakat

3. Sosiolinguistik dengan linguistik umum:
- Linguistik: mencakup struktur bahasa, struktur bunyi, struktur morfologi, struktur kalimat dan struktur wacana
- Linguistik mempunyai pandangan monolitik terhadap bahasa
- Bahasa dianggap sebagai sistem yang komponen-komponennya bersifat homogen
- Sosiolinguistik tidak mengakui adanya konsep monolitik; setiap bahasa mempunyai sejumlah variasi
- Sosiolinguistik lebih menitikberatkan fungsi bahasa dalam penggunaan, makna bahasa secara sosial

4. Sosiolinguistik dengan Dialektologi:
- Dialektologi adalah kajian tentang variasi bahasa
- Kajian sosiolinguistik yang bersifat kesejahteraan tampak pada kajian tentang pergeseran atau kepunahan bahasa
- Sosiolinguistik menitikberatkan kajiannya atas variasi bahasa bukan tas dasar batas-batas regional atau batas-batas alam, melainkan pada batas kemasyarakatan

5. Sosiolinguistik dengan Retorika
- Retorika merupakan kajaian tentang tutur terpilih (selected speech). Salah satu cabangnya adalah kajian tentang gaya bahasa (style).
- Dalam hal variasi bahasa, retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa sebagai objek studi keduanya
- Sosiolinguistik mempelajari semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan dasar atau faktor yang memunculkan variasi itu
- Retorika cenderung ke arah kajian tutur individu

6. Sosiolinguistik dengan Psikologi sosial
- Psikologi sosial Paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi
- Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa masyarakat, hubungan antara sosiolinguistik dengan psikologi sosial tentu ada. Hubungan itu bisa kita lihat pada segi metodologi
- Psikologi sosial lebih berwawasan sosial (social oriented)
- Pendekatan psikologi sosial bisa dipakai dalam menganalisis misalnya sikap bahasa (language attitude)

7. Sosiolinguistik dengan Atropologi:
- Bagi Antropologi bahasa seringkali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri (identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan etnik
- Salah satu teknik pengamatan yang banyak dipakai sosiolinguistik (yang biasa dipakai oleh antropologi) adalah apa yang disebut pengamatan berpartisipasi (participant observation)

Rabu, 18 Maret 2009

Drama

0

Pengertian Drama

Perkembangan drama di Indonesia akhir-akhir ini begitu pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di televisi, drama radio, drama kaset, dan juga drama pentas. Begitu populer dan begitu akrabnya drama dalam kehidupan kita, sehingga semua orang merasa sudah mengerti dan memahami drama.
Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia. Melihat drama, penonton seolah-olah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri.
Drama berasal dari bahasa Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Tarigan mengemukakan (1984:70) dari segi etimologinya, drama mengutamakan perbuatan gerak yang merupakan inti hakekat setiap karangan yang bersifat drama. Maka tidak heran jika Moulton mengatakan bahwa drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak (life presented in action) ataupun Bathazar Verhagen yang mengemukakan bahwa drama adalah kesenian melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak. Dalam kehidupan saat ini, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri.
Webster mengungkapkan pengertian drama sebagai berikut.
A composition in verse or prose arranged for enactment (as by actors on a stage) and intended to potray life or to tell a story through the action and use dialogue the actors.

Berdasarkan pengertian tersebut ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu komposisi, potret kehidupan, lakuan, dan dialog. Yang dimaksud dengan komposisi adalah suatu susunan karangan yang sudah mapan. Dengan demikian, karangan ini sudah dapat dinikmati sesuai dengan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan potret kehidupan adalah kehidupan faktual yang diangkat dalam karya sastra dan dapat dikembalikan dalam kehidupan itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (acting) atau dialog yang dipentaskan. Sedangkan menurut Ghazali (1984) drama adalah cerita yang berlandaskan pada konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia, bentuknya tertulis dalam bentuk dialog dan untuk tujuan pementasan. Lebih lanjut, Soemanto (2003) mengatakan drama adalah suatu bentuk seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya.
Lakuan atau action pada dasarnya adalah tindakan atau gerak-gerik yang terdapat dalam drama yang sudah diperankan oleh pemeran naskah drama yang dipentaskan. Misalnya, berjalan, berlari, jongkok, marah, sedih, dan lain-lain merupakan salah satu bentuk lakuan yang ada di dalam drama. Dialog merupakan percakapan antara dua orang pelaku dalam drama sehingga terjadilah komunikasi yang mirip dengan kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan konsep drama yang diungkapkan oleh Bernhart (1953:365) sebagai berikut.
A composition in prose or verse presenting in dialogue or pantomime a story involving conflict or contrast of character, esp. one intended to be acted on the stage.
Hal-hal yang perlu dicatat dalam uraian di atas adalah konflik dan kontras. Drama merupakan seni konflik. Konflik yang terjadi pada drama merupakan unsur esensial. Konflik yang sering kita temukan dalam drama adalah konflik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan masyarakat (Maryaeni, 1992:7—10).
Di dalam drama, konflik dan kontras ditunjukkan secara jelas. Kita dapat menelaah pelaku yang manakah menjadi tokoh protagonis dan yang manakah yang menjadi tokoh antagonis. Inilah esensi drama sebagai karya sastra yang selalu menghadirkan permasalahan dalam kehidupan, terutama dalam penyelesaian. Walaupun pada akhirnya terdapat kesimpulan akhir yang mungkin tidak selalu menyenangkan, intinya permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa drama adalah suatu karya sastra yang bertujuan untuk menggambarkan kehidupan manusia melalui dialog dan lakuan. Tanpa dialog dan lakuan, drama belum dapat dikatakan sebagai drama. Ia hanya merupakan karya sastra yang dibaca dan ditelaah sesuai dengan keberadaan karya sastra. Dengan kata lain, drama dapat dikatakan sebagai drama apabila tersusun atas komposisi yang bagus dan baku, terdiri atas dialog-dialog yang menggambarkan karakter masing-masing tokoh, dan lakuan-lakuan yang menyertai dialog sebagai pengejawantahan karakter dalam drama itu sendiri dan menggambarkan kehidupan manusia secara mikro dan makro.


Bentuk dan Jenis Drama

Klasifikasi drama didasarkan atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan sebaliknya dapat juga dari sisi yang menyedihkan. Bentuk dan jenis-jenis drama diantaranya sebagai berikut.

2.1. Drama Berdasarkan Bentuk Bahasa
(1) Drama Puisi
Drama puisi (naskah puisi) adalah drama yang struktur kata-katanya dipengaruhi oleh ritme dan rima puisi. Kecenderungan utamanya adalah pada bentuk sajak. Bentuk drama ini sulit disajikan atau dipentaskan karena materi pemain yang kuat, artinya pelaku dituntut untuk berperan ganda. Selain berperan sebagai aktor teater, pelaku juga dituntut berperan sebagai pembaca puisi yang baik. Bentuk penampilannya pun sangat berbeda dengan bentuk drama yang lain, karena alur puitisnya harus diikuti dengan benar. Misalnya:
Kapitan : Laut terbuis gelombang
Mendung memburu
Tenggara, selatan
Bola-bola hitam memanjang!
Penyair : Angin membiarkan, Kapitan!
Cakrawala resah
Tangan-tangan pirang melintang
Menggaris biru lautan
Malam terlempar liar
Jiwa dihujan sekitar
Kapitan : Biru mendung mengabar kepadaku
Balik bibir langit
Jentera cerah melambai
Mengisar pusar badai
Berujung pagi kita menjangkau pantai
(Tarigan, 1984:91)
(2) Drama Prosa
Drama prosa adalah drama yang diwarnai oleh struktur prosa fiksi secara umum. Dialog yang disajikan oleh penulis mudah dipahami, artinya tidak banyak menimbulkan permasalahan ketika menelaah atau menampilkan drama bentuk prosa ini. Misalnya:
Miah : Jangan begitu ah! Aku tak suka dicium.
Kiman : Ala, seperti aku ini tak bayar saja.
Miah : Kau ’kan biasanya ’ngutang satu hari.
Kiman : Muka macam muka wayang saja mesti bayar kontan.
Miah : Setan kau. Pergi sana sama gadismu, kau bisa puas lihat muka puteri kayangan. Kau kan punya bini, buat apa kemari.
Kiman : Ssst......kau bikin bangun orang sekampung saja.
Miah : Habis, mulutmu pesing bau jengkol.
(Tarigan, 1984: 89—90)

(3) Drama Prosa Puisi
Drama prosa puisi adalah drama yang menyajikan unsur prosa fiksi secara umum dan struktur kata-katanya dipengaruhi oleh ritme dan rima puisi. Ada penggabungan dua unsur yang berbeda dalam drama ini. Apabila ditelaah dan diteliti melalui suatu pementasan, terdapat dua unsur yang sangat berbeda dalam drama ini. Unsur prosa merupakan unsur yang dominan, sedangkan unsur puisi hanya bersifat penunjang, dengan kata lain menegaskan situasi perasaan dan hati pada saat pelaku membaca atau melantunkan puisinya. Misalnya:
Alonso : Juga Triculo sempoyongan; tapi di mana? Mereka dapat cairan emas yang cemerlang itu? He, dari mana kau dapat air asin ini?
Triculo : Sejak saya lihat tuan akhir kali, saya kecimpung di air asin; jangan-jangan tak akan keluar lagi dari tulang-tulang.
Saya tak takut lagi digigit nyamuk.
Sebastian: Hai, Stefano, apa kabar?
Stefano : O, jangan disentuh! Saya bukan Stefano lagi, tapi kejang melulu.
Prosfero : Kau ingin jadi raja di Pulau ini, Buyung?
Stefano : Kalau jadi, saya cuma saja tersepit.
Alonso : (menuding pada Caliban)
Tak pernah kulihat makhluk seaneh ini.
Prosfero : Lahir batin ia sama jeleknya
He, buyung, masuklah di pondokku
Dengan kawan-kawanmu; dan jika butuh
Ampunku, bersihkan bilik dengan rapi
(Tarigan, 1984:94)

(4) Drama Simbolis
Drama simbolis atau drama lambang adalah drama yang menggunakan lambang, artinya pelukisan lakon tidak langsung ke sasaran tetapi menggunakan simbol atau lambang. Drama simbolis ini sulit dipahami karena banyak menghadirkan simbol-simbol yang harus dicerna dan diapresiasi secara matang. Isi drama ini menyatakan sesuatu yang sangat penting dan rahasia dengan tujuan agar tidak semua orang memahami maksudnya.
Bebasari karya Rustam Effendy merupakan contoh drama simbolis. Tokoh-tokohnya ada yang dipergunakan penulis untuk melambangkan penjajah Angkara Murka (Rahwana) dan ada yang digunakan penulis untuk melambangkan bangsa Indonesia yang dicengkeram penjajah tetapi ingin bebas (Bebasari).
Drama-drama pada zaman penjajahan Jepang dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk drama simbolis. Penulis tidak secara terus terang mengumpat dan mengolok-olok atau menghina pemerintah Jepang pada saat itu. Hal ini disebabkan semata-mata oleh alasan politis atau keselamatan diri sendiri. Catatan penting mengenai bentuk drama ini adalah hampir seluruh naskah drama tersaji dalam bentuknya yang simbolis, tidak ada yang terang-terangan atau blak-blakan.

2.2 Drama Berdasarkan Bentuk Penampilan

(1) Sandiwara
Asal usul sandiwara adalah teater rakyat. Karena ia lahir dari teater rakyat, maka bentuk penampilannya pun tidak jauh berbeda dengan teater rakyat pada umumnya. Salah satunya adalah akrab dengan penonton atau penikmat atau penonton dari asal muasal dan pemain berada dalam satu arena permainan. Arena permainan yang tidak dibatasi oleh garis pemisah yang jelas menyebabkan terjalinnya keakraban antara pemain dan penonton, sedangkan dalam perkembangan selanjutnya, sandiwara sudah memanfaatkan panggung/pentas yang memiliki batas tegas antara pemain dan penonton.
(2) Sendratari
Dalam drama bentuk ini tidak mengandung unsur dialog. Ia tersaji dalam bentuknya yang khas, yaitu tari, hanya unsur tarilah yang memiliki alur cerita. Kepentingan utama dalam sendratari adalah gerak-gerak tubuh yang lentur dan sesuai dengan irama gamelan. Berdasarkan kenyataan ini, penonton disuguhi keindahan gerak para penari yang lemah gemulai dan diminta untuk memaknai tarian tersebut.
(3) Pantomim
Pantomim adalah drama yang disajikan dalam bentuk gerak. Corat-coret wajah dengan tatarias merupakan salah satu ciri khas pantomim. Gerak-gerak dalam pantomim lebih menarik apabila disertai dengan irama musik sehingga gerak-gerak tersebut tampak lebih indah dan sesuai dengan tujuan ditampilkannya pantomim. Di samping itu, musik merupakan salah satu aspek pendukung dan penguat suasana (mood). Demikian pula dengan mimik dan ekspresi, memegang peranan yang penting untuk dipahami dengan mudah oleh penonton. Makna dan cerita yang ditampilkan dalam pantomim hanya dapat diamati melalui gerak-gerik tubuh yang lentur, mimik, serta ekspresi pemain pantomim.
(4) Tableau
Tableau merupakan drama yang disajikan dalam bentuk cakapan atau dialog tanpa menghadirkan unsur gerak. Bentuk ini merupakan kebalikan bentuk pantomim dan sendratari. Kefasihan pelafalan vokal sangat dipentingkan dalam tableau. Ia tidak menghadirkan gerak sama sekali, karena tujuan yang ingin disampaikan adalah pesan-pesan secara lisan maupun lingual.
(5) Opera/operet
Opera atau operet adalah drama yang disajikan dalam bentuk nyanyian. Nyanyianlah yang menggerakkan lakuan dalam bentuk drama ini. Dengan kata lain, unsur gerak dan peristiwa yang terjalin dalam drama bentuk ini tersaji melalui nyanyian sehingga nyanyian merupakan unsur yang sangat dominan dalam drama bentuk ini. Tanpa nyanyian, drama ini tidak dapat dipentaskan. Drama ini sangat bergantung pada isi dan suasana (mood) nyanyian. Apabila nyanyian bersituasi sedih, maka lakuan yang menyertainya adalah lakuan yang mengambarkan kesedihan, dan sebagainya.
Sesuai dengan perkembangannya, drama ini sudah mengkombinasikan dengan unsur gerak dan pembacaan puisi (mirip dialog), sehingga alur pementasan semakin tampak jelas. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang membawakannya juga semakin jelas karakterisasinya.

2.3 Drama Berdasarkan Media Penyampaiannya
(1) Drama Radio
Drama radio mementingkan dialog yang diucapkan lewat media radio. Drama bentuk ini bertujuan untuk diperdengarkan oleh pendengar bukan ditonton. Jenis drama ini biasanya direkam melalui kaset. Yang diutamakan dalam drama ini adalah aspek audio. Dengan demikian, pendengar diharuskan untuk menggambarkan lakuan-lakuan yang kemungkinan sesuai dengan dialog yang diucapkan para tokoh.
Berdasarkan karakteristik tersebut, vokal pelaku sangat dominan dalam menyajikan drama ini, sehingga pendengar mengetahui secara pasti perbedaan masing-masing karakter dalam lakon. Selain warna vokal dan pelaku, unsur musik juga tidak kalah penting, karena musik dapat menciptakan dampak emosional pada pendengar.
(2) Drama Televisi
Drama televisi memiliki persamaan dengan drama radio, hanya ditambah dengan aspek gerak yang dapat kita saksikan melalui layar kaca sehingga unsur audiovisual terjadi dalam drama ini. Penyusunan drama televisi sama dengan penyusunan naskah film. Oleh karena itu, drama televisi membutuhkan skenario. Dalam skenario tidak boleh diabaikan petunjuk teknis yang lengkap dan terperinci. Ada yang disebut bahasa film, yaitu adegan diam dan hanya menunjukkan gejolak perasaan pelaku. Dapat juga hanya menunjukkan perkembangan kejadian yang cukup lama. Hal ini tentu tidak dilukiskan dalam dialog, tetapi dilukiskan melalui narasi. Dalam penyajiannya pun benar-benar menggambarkan pergolakan psikis para pemirsa.
Kelebihan drama televisi adalah dalam hal melukiskan flash back. Dalam drama pentas biasa dan dalam sandiwara radio, sukar sekali untuk melukiskan flash back. Dalam drama televisi banyak kita jumpai flash back yang biasanya memperhidup lakon dan menciptakan variasi.
(3) Drama Panggung
Drama panggung segala sesuatunya bisa dinikmati secara langsung. Dihadirkan di tengah penonton yang banyak jumlahnya. Penonton dapat melihat dan menangkap secara jelas lakuan dan dialog pelaku drama ini.

2.4 Drama Berdasarkan Isi
(1) Drama Tragedi
Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Drama ini merupakan perwujudan kesedihan dan kenistaan yang selalu dialami manusia secara umum. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia dan berusaha menempatkan dirinya secara tepat di dalam kemelut kehidupan manusia itu.
Unsur cerita drama ini menghadirkan masalah yang nyaris memilukan. Penonton dibawa kepada situasi yang mengharukan, sehingga mau tidak mau penonton ikut serta merasakan kesedihan yang dialami masing-masing tokoh atau pun tokoh utamanya saja. Drama tragedi dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersajak yang menceritakan tokoh utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti keangkuhan dan sifat iri hati.
Dengan kata lain, drama ini juga disebut drama serius yang melukiskan titik kisah diantara para tokoh utama dan kekuatan yang luar biasa yang berakhir dengan malapetaka atau kesedihan. Drama trilogi karya Sophocles merupakan contoh yang paling tepat mewakili drama Yunani. Ketiga tragedi Sophocles itu diantaranya, Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, dan Antigone. Ketiganya pernah dipentaskan oleh Rendra dengan Bengkel Teaternya.
Kekhasan drama ini adalah (1) penggarapan cerita dan subjek yang bersifat serius, karena ia diberi beban untuk memainkan peran sesuai dengan tuntutan ceritanya, (2) pelaku utama merupakan orang penting yang herois. Kedudukan pelaku utama dalam drama ini sangat mutlak dan penting sekali karena dialah pengemban tema cerita secara keseluruhan. Berdasarkan keadaan ini, pelaku utama diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang pada mulanya sengsara dan pada akhirnya bahagia, (3) semua insiden harus wajar, apa yang harus terjadi terjadilah. Semakin dibuat-buat drama ini akan menghilangkan aspek tragis yang dikandungnya. Karena itu, segala sesuatu berjalan secara wajar, lugu, dan dalam batas-batas rasional, (4) kasihan, sedih, terharu, iba, takut, dan menyayat merupakan emosi-emosi utama, dan (5) berakhir dengan kesedihan atau kesengsaraan, sad ending meskipun tidak mutlak.
(2) Drama Komedi
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Drama ini melukiskan kelucuan dalam kehidupan dan menimbulkan tawa dan keceriaan. Pementasan drama ini pada hakikatnya bertujuan mengajak penonton bergembira dan masuk dalam suasana yang riang dan ceria. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Kelucuan yang dimaksud dapat terjadi bukan karena materi cerita, melainkan ulah pelaku di pentas. Postur tubuh pelaku dapat menimbulkan kegelian juga walaupun dialog dan perannya tidak sengaja melucu. Dalam cerita jenaka kita mengenal tokoh-tokoh Pak pandir, Pak Belalang, Si Luncai, Musang Berjanggut, Abu Nawas, dan Si Kabayan yang merupakan tokoh lucu.
Kekhasan drama ini adalah (1) memberlakukan subjek dalam tendensi yang ringan dan ceria, (2) menyajikan kejadian-kejadian yang kemungkinan besar terjadi dalam kehidupan keseharian, (3) pada umumnya menyajikan tentang kesenangan kehidupan, bukan pada sisi lainnya, (4) segala yang terjadi muncul dari tokoh bukan berdasarkan situasi. Situasilah yang harus diciptakan oleh tokoh, sehingga dapat menimbulkan tawa keriangan, dan (5) kelucuan yang dihasilkan merupakan sejenis humor yang serius, tidak artifisial.
(3) Drama Tragikomedi
Drama duka ria merupakan drama campuran antara tragedi dan komedi. Perwujudannya adalah drama ini menyajikan materi cerita yang mengandung kesedihan, tetapi juga diselingi dengan keceriaan akibat ulah pelaku. Dalam lakuan yang dilakukan pemain dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk lakuan yang menggelikan dan humor. Ada kelucuan dalam kesedihan dan ada kesedihan dalam kelucuan. Pemunculan drama jenis ini, lebih sering diwujudkan dalam bentuk penampilan drama absurd atau kontemporer.
(4) Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Penggarapan alur dan penokohan yang kurang dipertimbangkan secara cermat, maka cerita seperti dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton.
Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedi). Dalam kehidupan sehari-hari sebutan melodramatik kepada seseorang seringkali merendahkan martabat orang tersebut, karena dianggap berperilaku yang melebih-lebihkan perasaannya. Drama-drama Hamlet dan Macbeth disamping bersifat tragedi juga bersifat melodrama. Ada beberapa hal yang dilebih-lebihkan di dalam kedua drama besar itu. Romeo dan Yuliet dipandang dari cintanya yang begitu tinggi juga dapat dinyatakan sebagai melodrama.
(5) Dagelan (Farce)
Dagelan adalah drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan arus situasi dan tidak berdasarkan arus situasi, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur, dan fulgar.
Jika melodrama berhubungan dengan tragedi, dagelan berhubungan dengan komedi. Dalam dagelan alur dramatiknya bersifat longgar. Ceritanya mudah menyerah kepada selera publik. Dagelan adalah bentuk entertainment yang lemah dan murahan. Di samping struktur dramatiknya yang lemah, dalam dagelan juga tidak terdapat kesetiaan terhadap alur cerita. Irama permainan dapat menggendor dan ketepatan waktu tidak dipatuhi. Tokoh-tokohnya mungkin tidak mempertahankan wataknya secara ajeg dari awal sampai akhir lakon. Tokoh yang serius dapat saja tiba-tiba menejadi kocak karena tuntutan kekocakan yang harus diciptakan. Drama-drama dari Teater Srimulat kiranya dapat dijadikan contoh yang tepat dari dagelan ini. Lakon duka pun dapat menjadi banyolan yang menggembirakan karena kelonggaran struktur dramatiknya.