Selasa, 25 Agustus 2009

Bahasa dan Jenis Kelamin

0

Kurath (1939:43) mengemukakan “…they shoul be male because in the Western nation women’s speech tends to be more self-conscious and classconcious than mens…” (…mereka, yaitu responden haruslah laki-laki karena dalam masyarakat barat tutr wanita itu cenderung lebih sadar-diri dan sadar kelas daripada laki-laki…)
Orton (1962:15) mengemukakan “…in this country (England) men speak vernacular more frequently, more consistenly, and more genuinely than women, and the same could be true elsewhere..” (…di negara (Inggris) laki-laki lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya, lebih taat asaa, dan lebih rapi daripada perempuan, dan hal semacam ini bisa berlaku di mana saja…
Watrburg (1925:133) mengemukakan “ Everyone knows that as far as language is concerned women are more conservative than men, they conserve the speech of ours forbears more faithfully” (Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang tahu wanita itu lebih konservatif daripada pria, mereka lebih fanatik menyimpan tutur warisan bahasa kita)
Coates (1987:42) mengemukakan “Women hardly ever leave their village, unlike men;women stay at home and talk ‘chat’ to each other and don’t mix with strangers;women don’t do militaryservice” (Wanita itu hampir tidak pernah meninggalkan desanya, tidak seperti pria;wanita tinggal di rumah dan ngobrol dengan sesama wanita yang lain, dan tidak bergaul dengan orang asing, wanita tidak mengikuti wajib militer)
Mc Intosh (1952) mengemukakan “As to sex, there is no evidence which shows conclusively whether men or womwn better informants in Scotland” (Dalam hubungan dengan jenis kelamin, tidak ada bukti yang konklusif apakah pria atau wanita yang lebih baik jadi informan di Skotlandia

Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah
• Perbedaan pria dengan wanita itu mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang menbarengi tutur. Hal lain dan yang umum ialah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah. Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur.

Suara dan Intonasi
• Banyak orang yang bisa mengenal suara pria atau wanita karena secara umum bisa dikatakan suara pria relatif lebih besar daripada wanita.
• Kita juga bisa merasakan dalam hal wicara, setidaknya terlihat pada beberapa suku di Indonesia, suara wanita lebih lembut dibandingkan dengan suara pria. Hal ini sedikit banyak berkaitan dengan nilai sosial (social value) atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang itu.
• Kita bisa melihat dalam hal intonasi, misalnya intonasi “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada wanita.

Fonem sebagai Ciri Pembeda
• Vokal pada tutur wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika, telah ditemukan posisinya lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih ke depan, ke belakang, lebih tinggi, atau lebih rendah) dibandingkan dengan vokal pria
• Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan wanita seperti tiu memeng tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena di antara kedua kelompok itu memeng tidak ada rintangan sosial. Jadi, perbedaan itu tidak bisa diterangkan atas dasar kelas sosial, dialek geografis, atau etnik.

Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kep.Antillen Kecil Hindia Barat, dan mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita “menggunakan bahasa yang berbeda”. Pengamatan menunjukkan mereka itu bukan mebggunakan bahasa yang berbeda, melainkan hanya ragam yang berbeda dalam satu bahasa, dan itu pun hanya menyangkut sejumlah kosakata dan frase. Pria mempunyai sejumlah kosakata dan frase khusus untuk mereka. Sebaliknya, para wanita juga mempunyai kosakata dan frase khusus yang tidak pernah digunakan kaum pria

Teori Tabu
 Tabu memegang peranan penting dalam bahasa.
 Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria

Teori Sistem Kekerabatan
• Bahasa Chiquito, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan ‘kakak saya laki-laki’, ia mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis kelamin saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata itu didasarkan atas jenis kelamin dari penutur atau orang yang menyapa
• Berbeda dengan di Indonesia, pembedaan didasrkan pada orang yang disapa atau yang disebut, bukan kepada orang yang bertutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari orang yang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah kemenakan orang-orang itu, tidak perduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan

Konservatif dan Inovatif
Ada situasi yang menari dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak bisa dijelaskan dengan teori tabu. Dalam bahasa Koasati (bahasa Indian Amerika), tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi /s/ pada bagian akhir kata, sedangkan pada wanita tidak demikian. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konservatif daripada tutur pria. Tutur pria bersifat inovatif atau pembaharuan

Sikap Sosial dan Kejantanan
• Ada perbedaan-perbedaan kecil yang kurang jelas dan sifatnya “di bawah sadar” ditemukan dalam penelitian terhadap bahasa Inggris di Amerika maupun di Inggris. Ada sejumlah kata dan frase cenderung terkait dengan jenis kelamin. Misalnya kata-kata sumpah serapah mungkin lebih cocok untuk pria daripada wanita.
• Perbedaan tata bahasa (gramatika) mungkin juga ada, sebagaimana terlihat dari hasil survai-survai pada dialek perkotaan
• Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial, pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda.
• Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan perbedaan bahasa yang ada
• Ragam bahasa berdasrkan kelompok etnik dan kelompok sosial adalah akibat dari jarak sosial (social distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah akibat dari perbedaan sosial (social difference)

Prestise Tersembunyi
• Kita sudah mempunyai culup banyak bukti nilai sosial (social value) dan peranan jenis kelamin (sex roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise ini, dan hal ini tampak pada wanita
• Penutur pria di Norwich, pada tingkat di bawah sadar, begitu menyenangi bentuk-bentuk tutur yang nonbaku dan berstatus rendah sedemikian rupa sehingga mereka mengaku menggunakan bentuk-bentuk ini meskipun mereka mereka tidak menggunakannya. Sebagian besar dari pria itu lebih tertarik menghendaki prestise tersembunyi daripada memperoleh status sosial. Bagi pria di Norwich tutur kelas buruh adalah penuh status (statusful) dan berprestise (prestigious). Perbedaan tampak pada wanita, yang menjadi pelapor meninggi. Perbedaan sikap ini menyebabkan perbedaan ragam pria-wanita

Wanita sebagai Pelopor Perubahan
• Di daerah Larvik, Norwich Selatan para wanita memelopori perubahan. Pertama, para bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak laki-laki mereka. Kedua, anak laki-laki lebih konservatif daripada ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan mereka. Ketiga, para wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk perkotaan yang lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria
• Peranan perbedaan jenis kelamin yang berperan dalam perubahan bahasa. Penutur pria cenderung lebih inovator, kecuali kalau perubahan itu terjadi ke arah norma baku. Jika perubahan itu ke arah norma baku, wanita cenderung menjadi pelopornya
• Jadi, ragam pria-wanita itu akibat perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku pria dan wanita, dan dari sikap yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Sikap ini sangat penting dalam situasi kependidikan


Penelitian di Indonesia
• Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Wanita lebih konservatif daripada pria
• Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) wanita itu bersifat “androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininan.
• Mengenai pemakaian bahasa daerah dan bahasa Indonesia, hasil penelitian Yayah B. Lumintaintang (1990) terhadap sejumlah keluarga “kawin campur” Jawa-Sunda atau Sunda-Jawa dihasilkan bahwa faktor etnik ikut mempengaruhi sikap laki-laki terhadap bahasa. Laki-laki bisa menjadi faktor pendorong pemakaian bahasa Indonesia, atau bisa pula tidak

Ragam Bahasa Waria dan “Gay”
• Waria (singkatan dari wanita-pria) atau wadam (Wanita-Adam atau Hawa-Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta berperilaku seperti atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan.
• Gay (Homoseks atau homo) merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki secara emosional-seksual.
• Dede Oetomo meneliti waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya. Bahasa mereka, sebagaimana model bahasa “rahasia” lainnya, tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum.
• Waria biasanya merupakan kelas “bawah” berasal dan beroperasi di kota kecil, sebagian “melacurkan diri” di tempat-tempat tertentu dan sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut dan sebagainya
• Gay berasal dari golongan kelas menengah di kota Surabaya dan orientasinya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih banyak menjadi bahasa kelas menengah ke atas. Tetapi, gay juga memakai bahasa Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay Itu dwibahasawan
• Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pertama, struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan; kedua, penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada

0

Masyarakat Aneka Bahasa

1. Nasionalitas dan Nasion
1. Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara “bangsa” dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah konsepsi Fishman (1968 a:1972) tentang nasionalitas (nationality) dan nasion (nation). Kita tidak bisa menerjemahkan kedua istilah itu denagn kebangsaan dan bangsa, sebab keduanya mempunyai makna yang tidak selaras bahkan mungkin bisa dianggap bertentangan.
2. Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai suatu satuan sosial (social unit) yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran lokal (wilayah)
3. Kelompok etnik merupakan organisasi sosiokultural yang “lebih sederhana”, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”
4. Menurut Fishman, nasion adalah “suatu satuan politik teritorial yang sebagian besar menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol (kendali) nasionalitas tertentu. Fishman tidak menjelaskan seberapa jauh kontrol nasionalitas atas wilayah itu sehingga suatu kelompok bisa disebut nasion
5. Batasan Fishman itu dapat dipakai untuk berbicara tentang negara multinasional atau negara anekabangsa (multinational) atau “bangsa yang terdiri dari berbagai bangsa”
6. Negara multinasinal itu lebih kurang stabil dibandingkan nasion-multietnik.

2. Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionisme
1. Nasionalisme adalah perasaan yang berkembang dari dan mendukung nasionalitas. Nasionisme lebih mengacu kepada masalah-masalah kekuasaan yang pragmatik
2. Menurut Fishman, peranan bahasa dalam nasionisme sangat gamblang. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionisme dalam dua bidang, yaitu bidang administras pemerintahan dan pendidikan
3. Proses memerintah itu memerluakn komunikasi, baik komunikasi antar lembaga maupun komunikasi antara pemerintah dengan rakyat
4. Sepanjang menyangkut nasionisme, bahas apa pun asalkan bisa menjalankan fungsi dengan baik akan menjadi pilihan terbaik
5. Pendidikan mememrlukan bahasa pengantar yang mampu mengalihkan pengetahuan secara efisien kepada anak
6. Peranan bahasa dalam nasionalisme di lain pihak lebih tidak kentara. Bahasa, bersama dengan kebudayaan, agama, dan sejarah merupakan komponen nasionalisme
7. Bahasa bertindak sebagai rantai penghubung dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan
8. Bahasa bukan hanya wahana bagi sejarah nasionalitas saja, melainkan juga merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Sepanjang menyangkut “keotentikan”, besarlah keuntungan nasionalitas itu jika ia mempunyai bahasa sendiri
9. Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme adalah “contrastiveself-identification” (identifikasi-diri yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot (1956) disebut “unifying and separating function” (fungsi yang menyatukan dan sekaligus memisahkan)
10. Istilah-istilah ini mengacu kepada perasaan warga nasionalitas yang menyatukan dan mengidentifikasikan diri dengan orang-orang lain yang berbicara dalam bahasa yang serupa, dan sekaligus mengontraskan (menghadapkan) dengan dan terpisahkan dari mereka yang tidak berbicara dalam bahasa serupa
11. Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam regional atau ragam sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh
12. Sikap orang Paraguay terhadap bahasa ternyata mendua (ambivalen). Bahasa Guarani dipakai untuk memenuhi fungsi “menyatukan dan memisahkan”
13. Paraguay memilih bahasa Guarani sebagai bahasa pendidikan, karena jelas bahasa itu dapat memperkuat nlai simbolik bahasa nasional dan karena itu juga menjalankan tujuan-tujuan nasionalisme

3. Keanekabahasaan sebagai Masalah
Keanekabahasaan bekerja berlawanan dengan arah nasinalisme. Negara-bangsa (nation-state) itu tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa, dan berdasarkan pentingnay bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa daripada negara ekabahasa
Masalah bahasa bagi nasionalisme lebih bersifat pragmatik daripada simbolik, maka pemecahan masalah yang bersifat nasionis sering menimbulkan masalah yang bersifat nasionalis
Bagi suatu nasionalitas yang baru saja memperoleh wilayah, bahasa yang diinginkan sebagai lambang nasional adalah bahasa dari negara yang menolak campur tangan dari luar
Masalah konflik antara nasionalisme dengan nasionisme, dalam dunia pendidikan, agak berbeda, Strategi bahasa terbaik bahasa dalam pendidikan ialah memakai berbagai bahasa etnik

4. Efek Keanekabahasaan Kemasyarakatan
Kalau benar bangsa yang anekabahasa itu mempunyai masalah-masalah yang tidak ada dalam bangsa ekabahasa tentu ada kemungkinan untuk menunjukkan bahwa negara-negara anekabahasa itu tidak beruntung, dan efek semacam itu harus dapat diukur dengan cara tertentu.
Pool (1972) mencoba meneliti masalh in dengan menganalisis 133 negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domestik Bruto (GDP). Ia menemukan:
Suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi negara tidak berkembang (miskin)
Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin
Suatu negara yang secara linguistik sangat heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin)
Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik



5. Bagaimana Bangsa Anekabahasa Berkembang
Dalam sejarah terbentuknya bangsa yang anekabahasa kita melihat setidak-tidaknya ada empat pola, yaitu:
Migrasi: Migrasi atau perpindahan penduduk yang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Kedua, sejumlah anggota etnik memasuki wilayah yang sudah di bawah kontrol nasionalitas lain.
Penjajahan: Proses penjajahan (politik, budaya, atau ekonomi) kontrol itu dipegang olehsejumlah orang yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol yang tinggal di wilayah baru itu. Bahasa asing meluncur masuk ke suatu negara tetapi nasionalitas pemilik bahasa asing itu tidak memegang kontrol politik. Ragam-ragam penajajahan itu mempunyai pengaruh dalam pengenalan bahasa penjajah ke masyarakat lain. Kadang-kadang orang penjajah itu pada akhirnya mungkin hanya sedikit sekali yang tinggal; tetapi bahasanya itulah yang justru memegang peranan penting. Dalam hal penjajahan politik atau aneksasi, bahasa penjajah dipakai di bidang pemerintahan dan pendidikan
Federasi: Yang dimaksud dengan federasi ialah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah kontrol politik satu negara. Ini bisa karena sukarela atau paksaan. Federasi paksaan terjadi karena pengaruh kolonialisasi di Asia dan Afrika. Berbagai negara anekabahasa digabungkan dengan paksa, sehingga pengaruh sosiolinguistiknya terasa sampai sekarang
Wilayah Tapal Batas: Asal mual keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan. Setiap negara harus memiliki tapal batas yang jelas. Komplikasi di wilayah perbatasan biasanya bisa dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah perang biasanya dipaksa untuk menyerahkan (sebagian) wilayahnya kepada yang menang.
Kemerdekaan Indonesia, 1945, sedikit banyak menumbuhkan “federasi” berbagai kelompok sosiokultural

6. Paraguay, India, dan Indonesia
Paraguay sangat dekat dengan multietnik. Ia memiliki bahasa nasional (Guarani) yang dipakai oleh sebagian warganya. Bahasa Guarani mengisi fungsi simbolik bahasa nasional itu, terutama dalam fungsi menyatukan dan memisahkan
India adalah “raksasa sosiolinguistik”. Khubchandani menyebut adanya 200 kelompok bahasa dan Grimes menyebut jumlah 312 bahasa di India. Fasold juga mengutip Le Page yang menyebut 844 bahasa, termasuk 63 bahasa “non-India”
India lebih banyak mengarah ke titik nasion multietnik daripada yang kita perkirakan sebelum in. Ukuran nasionalisme yang didasarkan atas pendukungan dan pemakaian bahasa tidaklah berlaku dengan baik di India
Tidak seperti Paraguay dan Idia, yang mengenal bahasa bekas penjajahnya. Indonesia tetap stabil dari situasi sosiolinguistik yang meraksasa, dan karena itu Indonesia lebih mengarah ke negara multietnik.
Masalahnya bagi Indonesia ialah bagaimana mengembangkan bahasa Indonesia itu bagi semua warga negara dan warga etnik tetapi tidak secara drastis mematikan bahasa etnik itu. Ini menyangkut masalah seperti diglosia, sikap bahasa, pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dll.

7. Diglosia dalam Masyarakat Anekabahasa
1. Ferguson melihat para penutur bahasa kadang-kadang memakai ragam tertentu untuk situasi tertentu dan memakai ragam lain untuk situasi lain. Kemudian ada suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa hidup berdampingan dengan peran masing-masing dalam masyarakat itu. Inilah yang disebut diglosia
2. Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia
Sikap penutur dalam guyup diglosia ialah bahwa H itu superior (unggul), lebih gagah, dan lebih nalar (logis)
3. Warisan tradisi tulis-menulis, mengacu kepada banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam H dan dikagumi warga guyup
4. Aspek diglosia yang penting adalah perbedaan pola pemerolehan bahasa ragam H dan L
Diglosia biasanya merupakan gejala yang stabil karena diglosia memang dikehendaki agar selalu ada dua ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup
5. Ciri tatabahasa, dapat dikatakan ada banyak perbedaan kaidah tatabahasa antara H dan L, meskipun keduanya merupakan bahasa yang sama
6. Dalam hal kosakata, sebagian besar kosakata H dan L memang sama, tetapi dalam situasi diglosia selalu saja ada kosakata yang berpasangan
7. Ciri fonologi, sistem bunyi H dan L itu membentuk suatu struktur fonologi tuggal, fonologi L merupakan sistem dasar dan unsur-unsur sebaran fonologi H merupakan sub-sistem (sistem bawahan) atau parasistem (sistem atasan)

Film dan Ragamnya

0

1. Pengertian Film

Film merupakan sebuah bentuk karya seni. Sebagai sebuah kesenian, film terdiri atas berbagai bentuk kesenian yang hadir dan menyatu. Film dapat dikatakan sebagai sebuah seni pertunjukan yang bersifat audiovisual dan merupakan rangkaian dari seni drama atau teater, seni gerak, dan seni musik Selain itu, film merupakan alat komunikasi massa. Pesan dan komunikasi terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film. Tujuannya ada yang sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin keduanya.
Definisi lain mengenai film dikemukakan oleh Suprapto (1993:30) yang menyatakan bahwa film merupakan cerita atau lakon yang berupa gambar hidup. Setelah dunia perfilman berkembang pesat, pengertian film pun juga meluas. Undang-undang perfilman No. 6 Tahun 1997, Bab I, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar (audiovisual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, piringan video, atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya (Baksin, 2003:6).
Dari undang-undang perfilman di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan film tidak hanya sekadar film cerita yang diputar di bioskop, tetapi lebih dari itu. Film-film yang dibuat untuk televisi (termasuk sinetron) dan VCD bahkan hasil temuan lain nantinya di masa yang akan datang menggunakan asas sinematografi.
Sutrisno (1999:83) mengatakan bahwa film tidak hanya menunjukkan sebuah fiksi atau rekaan, drama, tari, musik, psikologi, agama, dan filsafat saja, tetapi film juga merupakan “jembatan” antara dunia fantasi dengan dunia nyata sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan film mudah mencekam dan juga meninggalkan ingatan lebih lama pada diri penontonnya.

2. Apresiasi Film

Setiap bentuk kesenian, seperti seni musik, seni sastra, seni tari, maupun seni rupa memerlukan apresiasi dari penikmat. Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran sebuah karya seni. Apresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungan dengan film dan pengalaman menikmati film, apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati, dan menghargai. Dalam hubungan dengan kegiatan menikmati film, jelas seseorang tidak akan dapat menikmati karya film sebelum ia memahami dan merasakan apa yang terkandung dalam karya film itu (Sumarno, 1996:95). Menghayati media komunikasi visual lebih sederhana tuntutannya dibandingkan dengan menghayati media yang lain. Media visual juga dipandang paling efektif, karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan tingkat pendidikan, usia, dan kecerdasan.
Monaco (Sumarno, 1996:27) menyatakan latar belakang sosial budaya justru mempengaruhi bagaimana seseorang menghayati film. Pengalaman dalam menikmati film menyerupai pengalaman dalam menghayati bahasa. Artinya, orang yang berpengalaman dalam menghayati film akan lebih banyak melihat dan mendengar dibandingkan dengan orang yang jarang melihat film, sehingga terjadilah suatu proses mental. Pada umumnya proses mental ini kurang disadari ketika seseorang menikmati sebuah film. Jadi, film juga harus dibaca tidak hanya sekedar ditonton saja.
Latihan mempersepsi dan memahami film yang disebut mengapresiasi film berguna untuk (1) memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukan film; (2) dapat menghargai film yang baik dan mengesampingkan film yang buruk; dan (3) dapat menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul dari film (Sumarno, 1996:28).
Apresiasi film harus dilakukan secara seimbang antara unsur estetik (keindahan) dan unsur progresif (muatan-muatan ide yang ditawarkan). Artinya, apresiasi terhadap film dilakukan tidak hanya berupa apresiasi seni, tetapi juga terhadap apresiasi kebudayaan yang melahirkan film itu.
Keseimbangan apresiasi ini membuat seseorang tidak akan terjebak pada pengertian seni untuk seni. Kemampuan film mengungkapkan sesuatu benar-benar tak terbatas, termasuk cara-cara pendekatan terhadapnya. Apresiasi yang seimbang dapat menempatkan pandangan film bukan sekadar barang dagangan atau hanya barang seni, melainkan juga karya ekspresi kebudayaan sebagai hasil penjelajahan dan pergulatan tentang kehidupan manusia.

3. Jenis-Jenis Film

Menurut Baksin (2003:93—94) berdasarkan temanya film terdiri dari sembilan jenis, yaitu (1) drama, (2) action, (3) komedi, (4) tragedi, (5) horor, (6) dramaaction, komeditrage, (8) komedihoror, dan (9) parodi.
Film drama mengetengahkan aspek-aspek human interest sehingga yang menjadi sasaran adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema film juga dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya. Jika kejadian ada di sekitar keluarga, disebut film drama keluarga. Jika kejadian itu dengan setting pembajakan, biasa disebut film drama pembajakan.
Film action, sesuai dengan istilahnya, selalu berkaitan dengan perkelahian, tembak-tembakan, atau kebut-kebutan. Film jenis ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi “pertarungan” secara fisik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Film komedi berbeda dengan lawak. Dalam lawak biasanya yang berperan adalah para pelawak. Film komedi tidak harus dilakonkan oleh pelawak, tetapi juga oleh bintan film biasa. Film komedi selain membuat penontonnya tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak, biasanya adegan film komedi juga merupa sindiran atau satir dari suatu kejadian atau fenomena yang sedang terjadi. Film komedi ada dua jenis, yaitu komedi slaptik dan komedi situasi. Komedi slaptik adalah komedi yang memperagakan adegan konyol, seperti sengaja jatuh, dilempar kue, dan sebagainya. Komedi situasi adalah adegan lucu yang muncul dari situasi yang dibentuk dalam alur film.
Film tragedi menitikberatkan pada nasib manusia. Sebuah film dengan akhir ceritanya sang tokoh selamat dari perampokan, kebanjiran, dan lainnya bisa disebut film tragedi.
Film horor merupakan sebuah film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan. Suasana horor dalam film ini bisa dibuat dengan cara animasi, special effect, atau langsung oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut.
Film drama action merupakan gabungan dari dua tema film, drama dan action. Film jenis ini menyuguhkan drama dan juga adegan pertengkaran fisik. Untuk menandainya dapat dilihat dengan cara melihat alur cerita film. Biasanya film dimulai dengan suasana drama, setelah itu alur meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang berupa pertengkaran-pertengkaran.
Film komedi trage, suasana komedi ditunjukkan terlebih dahulu kemudian disusul dengan adegan-adegan tragis. Suasana yang dibangun memang getir sehingga penonton terbawa emosinya dalam suasana tragis, tetapi terbungkus dengan suasana komedi.
Film komedi horor merupakan gabungan antara tema komedi dan horor. Biasanya film jenis ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Dalam konteks ini, unsur ketegangan yang bersifat menakutkan dibalut dengan adegan komedi sehingga unsur kengeriannya menjadi lunak.
Film parodi merupakan duplikasi dari tema film tertentu, tetapi diplesetkan sehingga ketika sebuah film parodi ditayangkan para penonton akan melihat suatu adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa. Penonton yang sering menonton film tentu saja paham kalau film parodi selalu mengulang adegan film lain dengan pendekatan komedi. Jadi, film parodi berdimensi duplikasi film yang sudah ada lantas dikomedikan.
Film (dalam Sumarno, 1996:10) dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film noncerita. Definisi lain mengenai film (dalam Apriaji, 2006:12) dibagi menjadi film cerita, film noncerita, film eksperimental, dan animasi.
Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film cerita memiliki berbagai jenis atau genre. Dalam hal ini, genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk, atau isi tertentu. Ada yang disebut film drama, film horor, film perang, film sejarah, film fiksi-ilmiah, film komedi, film laga (action), film musikal, dan film koboi.
Film noncerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jika film noncerita memiliki berbagai jenis, demikian pula yang tergolong pada film noncerita. Namun, pada mulanya hanya ada dua tipe film noncerita ini, yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film faktual.
Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta. Kamera sekedar merekam peristiwa. Saat ini film factual tetap hadir dalam bentuk fim berita (news reel) dan film dokumentasi. Film berita lebih menitikberatkan pada segi pemberitaan suatu kejadian aktual, misalnya film berita yang banyak terdapat dalam siaran televisi. Sementara itu, film dokumentasi hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi peristiwa perang atau dokumentasi upacara kenegaraan.
Film dokumenter, selain mengandung fakta juga mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.
Film eksperimental adalah film yang tidak dibuat dengan kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film.
Film animasi adalah film yang memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi. Prinsip teknik animasi sama dengan pembuatan film dengan subjek yang hidup, yang memerlukan ± 24 gambar per detik untuk menciptakan ilusi gerak. Sedikit banyaknya gambar per detik itu menentukan kasar dan halus pada ilusi gerak yang tercipta. Film animasi dengan materi rentetan lukisan di kertas yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan film kartun yang terbanyak diproduksi di mana-mana.

4. Unsur-Unsur Film
Unsur-unsur sebuah film serupa dengan unsur-unsur sebuah drama. Menurut Eneste (1991:19) ada empat unsur, yaitu (1) tema, (2) penokohan (karakter tokoh), (3) latar cerita atau setting, dan (4) alur. Berikut uraian dari keempat unsur-unsur film tersebut.

4.1 Tema Cerita
Film mempunyai tema tertentu, yakni inti persoalan yang hendak diutarakan atau disampaikan oleh pembuat film kepada penonton. Tema itu harus dituangkan dalam gambar-gambar sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Besar kecilnya tema film bukan merupakan jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keterbasan tema juga dibatasi oleh keterbatasan teknis film. Kalau tema yang difilmkan terlalu luas, maka waktu putarnya akan lebih lama. Inti cerita atau premise akan menjadi dasar dalam bentuk plot cerita (plotline).

4.2 Penokohan (Karakter Tokoh)
Seperti halnya drama, film juga mempunyai tokoh atau pelaku. Penokohan dalam film diungkapkan melalui berbagai cara, antara lain pengungkapan dialog tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, perbuatan tokoh, lingkungan tokoh, dan lain-lain. Tokoh dalam film hadir langsung di hadapan penonton, dari penampilan tokoh film secara langsung, penonton dapat mengetahui sifat atau karakter, sikap, dan kecenderungan sang tokoh. Gambar-gambar yang nampak dalam film akan berbicara sendiri mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam film.
Karakter adalah pemain yang melakukan dialog dalam scene dan selalu ditulis dalam huruf besar. Karakter dapat berupa manusia (laki-laki dan perempuan), hewan, robot, komputer, atau makluk-makluk tertentu yang berperan dalam isi dialog. Karakter dalam skenario mencerminkan peranan, emosi, keterampilan, dan tugas-tugas yang diembannya. Jalannya sebuah cerita dalam skenario ditentukan dari gerak dan motivasi sang karakter.
Secara garis besar terdapat 5 pembagian jenis-jenis karakter yang mewarnai sebuah cerita (Set & Sidharta, 2003:74). Pertama, Karakter protagonis. Karakter ini sering disebut sebagai karakter utama. Ia mewakili sisi kebaikan dan mencerminkan sifat-sifat kebenaran yang mewarnai setiap aktivitasnya dalam cerita. Pada beberapa naskah, karakter ini biasanya mewakili sosok pahlawan, pembela kebenaran, atau tokoh yang memikul tanggung jawab.
Kedua, Karakter sidekick. Karakter ini berpasangan dengan karakter protagonis. Tugasnya membantu setiap tugas yang diemban sang karakter protagonis. Karakter ini biasanya bertindak sebagai teman, guardian, penolong atau guru yang membantu sang protagonis.
Ketiga, Karakter antagonis. Karakter antagonis selalu berlawanan dengan karakter protagonis. Ia selalu berupaya menggagalkan setiap upaya karakter protagonis dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Kita sering melihat karakter ini dilambangkan sebagai musuh atau orang jahat yang berhadapan langsung dengan tokoh protagonis.
Keempat, Karakter kontagonis. Kontagonis adalah karakter yang membantu setiap aktivitas yang dilakukan karakter antagonis dalam menggagalkan langkah sang protagonis. Tokoh ini biasanya dilambangkan sebagai tokoh yang licik.
Kelima, Karakter skeptis. Sesuai dengan sifat skeptis yang disandangnya, tokoh ini adalah karakter tokoh yang paing tidak peduli terhadap aktivitas yang dilakukan sang tokoh protagonis . Ia selalu menganggap tokoh protagonis sebagai pecundang. Walaupun bukan lawan, tokoh ini selalu meuncul mengacaukan segala rencana yang dijalankan sang protagonis. Tokoh ini biasa dilambangkan sebagai tokoh yang keras kepala atau tokoh yang selalu mencurigai gerak-gerik tokoh protagonis.

4.3 Latar Cerita (Setting)
Setting adalah tempat dan berlangsungnya cerita film (Sumarno, 1996:66). Setting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton. Pertama, setting menunjukkan tentang waktu atau masa berlangsungnya cerita. Kedua, tentang tempat terjadinya peristiwa, bagaimana dengan lingkungan masyarakatnya, adat kebiasaan, semua itu harus disampaikan dengan tepat sebab syarat utama sebuah film harus tampak meyakinkan.
Penciptaan setting berarti penciptaan konsep visual secara keseluruhan. Hal itu juga menyangkut pakaian-pakaian yang harus dikenakan pada tokoh film, bagaimana tata riasnya, dan barang-barang (properti) apa yang harus ada.
Latar dalam film mempunyai fungsi dramatik. Oleh sebab itu, seorang penulis skenario dalam mencari properti yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak properti yang tersedia dalam kehidupan ini. Properti tersebut harus mampu berbicara kepada penonton film, tanpa penjelasan apa-apa dari penulis skenario atau sutradara.

4.4 Alur (Plot)
Plot adalah jalan cerita atau alur cerita awal, tengah, dan akhir (Set & Sidharta, 2003:26). Struktur plotline yang diawali dengan konflik, komplikasi, dan resolusinya biasa disebut dengan struktur dasar dalam membangun sebuah cerita.
Set & Sidharta (2003:30) menjelaskan plotline terbagi menjadi 3, yaitu Pertama, Awal – konflik A dan perkenalan konflik B. Cerita berawal dengan pengenalan tokoh utama dan dunianya. Tokoh ini menginginkan sesuatu, namun sesuatu itu berbenturan dengan dunianya. Berbagai masalah muncul sehubungan dengan usaha tokoh utama dalam mencapai tujuannya. Pada saat yang sama tokoh lain yang berhubungan dengan tokoh utama juga mempunyai konflik yang tidak terpecahkan. Pada akhir babak pertama tokoh utama telah memutuskan untuk mengejar apa yang ia inginkan.
Kedua, Tengah – komplikasi masalah, resolusi sementara konflik utama, resolusi konflik minor. Konfik tokoh utama menjadi lebih rumit karena benturan dengan dunianya lebih keras dari yang ia duga. Masalah-masalah yang ada lebih susah dari yang ia kira. Ia memutuskan untuk meninggalkan dunianya dan memasuki dunia yang lain. Keputusan memberikan solusi sementara yang berakibat dunia lamanya berantakan sehingga tokoh utama menarik dirinya dari dunia baru dan kembali ke dunia lama. Sementara itu, konflik minor yang dihadapi tokoh pembantu menemukan solusinya meskipun mungkin tidak sepenuhnya terselesaikan. Tokoh utama mendapati dunia lamanya tidak menarik lagi, tetapi ada konflik baru yang menghadangnya sehingga ia berada di persimpangan jalan atau titik point of no return dan ia harus memutuskan melalui deux et machine (kejutan atau tangan Tuhan) atau solusi natural, apakah ia akan berusaha mendapatkan dunia barunya atau tetap berada di dunia lama.
Ketiga, Akhir – Resolusi masalah utama, resolusi masalah lainnya. Tokoh utama menyadari bahwa untuk menyelesaikan konflik dunianya tidak akan bisa sama lagi. Tokoh utama memasuki dunia baru dimana dia mendapatkan/gagal apa yang ia inginkan. Plotline B harus sudah mencapai solusinya di tengah babak 3. Plotline A mendapat solusinya di akhir cerita, baik sedih atau bahagia.
Film mempunyai keterbatasan ruang teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu, film sering memakai alur tunggal saja. Walaupun demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Dalam sebuah film seorang sutradara harus memperhatikan unsur ketegangan. Hal ini dimaksudkan untuk memancing rasa ingin tahu penonton supaya mengikuti cerita film secara keseluruhan.

UJARAN BAHASA PENDERITA STROKE YANG MENGALAMI AFASIA BROCA

2

Manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Bahasa tersusun dari kata-kata yang masing-masing merupakan simbol dari suatu benda atau gagasan yang terekam oleh kesadaran manusia. Bahasa merupakan alat yang sistematis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda yang disepakati yang mengandung makna untuk dapat dipahami.
Kemampuan berbahasa sangat memperbesar kemampuan kualitatif otak manusia yang terdiri atas beberapa unsur anatomis yang berbeda. Kemampuan kualitatif tersebut adalah kemampuan untuk mengungkapkan gejala secara menyeluruh mengenai otak. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan adanya serebrum, yang dibagi dalam dua bagian besar, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Menurut penelitian, hemisfer secara terpisah menunjukkan bahwa hemisfer kiri bertanggung jawab untuk pengelolaan terhadap bahasa dan bicara, sedangkan hemisfer kanan mengendalikan keterampilan yang berkaitan dengan proses visualisasi dan spasial.
Dominasi hemisfer kiri untuk berbahasa tersebut sudah dibuktikan secara klinis oleh neurologi. Broca (ilmuwan Prancis) menemukan suatu area pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan menimbulkan kesulitan berkata-kata, tetapi penderita dapat mengerti pembicaraan. Salah satu penyebab gangguan berbahasa adalah stroke. Stroke merupakan penyakit syaraf yang menyerang fungsi otak akibat adanya kelainan pembuluh darah otak yang berlangsung lebih dari 24 jam, menimbulkan kerusakan pada salah satu hemisfer, maka secara teoretis, kemungkinan terjadi afasia adalah 25% dari insiden atau terjadinya stroke.
Peningkatan terjadinya penyakit-penyakit neurologis, salah satunya stroke tersebut dapat diantisipasi dengan kecanggihan ilmu dan teknologi kedokteran. Secara bertahap, penderita dapat dibimbing untuk melakukan fisioterapi secara aktif dengan memperhatikan prinsip-prinsip terapi gangguan berbahasa atau afasia.
Afasia Broca merupakan salah satu penyakit yang menjangkit penderita stroke karena peredaran darah di otak pecah. Penderita stroke yang mengalami afasia Broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan berbahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan berbahasa tersebut, diperparah lagi dengan hilangnya kemampuan dalam mengujarkan atau menirukan ujaran bunyi-bunyi vokal.

a. Definisi Afasia
Kemampuan berbahasa seseorang tergantung pada kematangan otaknya. Otak manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Masing-masing hemisfer tersebut dapat mengalami gangguan berbahasa, karena tersumbatnya peredaran darah di otak.
Afasia ialah penyakit bertutur yang berupa terganggunya kemampuan linguistik dalam komunikasi verbal karena tidak beresnya atau terganggunya hemisfer kiri. Seseorang yang menderita afasia dapat diartikan bahwa hilangnya kemampuan untuk membentuk kata-kata, sehingga konservasi tidak dapat berlangsung dengan baik, oleh karena itu dia tidak mampu mengatakan dalam kata-kata apa yang ia ingini atau yang ia maksud.

b. Sebab-sebab Afasia
Afasia terjadi karena tersumbatnya peredaran darah di otak bagian kiri yang mengurusi soal bahasa. Menurut beberapa ahli, otak merupakan pusat dari berbagai fungsi dan sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, diantaranya adalah fungsi bahasa dan bicara. Adanya gangguan atau kelainan yang terjadi pada otak akan menimbulkan kelainan pada fungsi atau sistem tertentu. Salah satu penyebab gangguan berbahasa atau afasia adalah stroke. Stroke terjadi ketika darah tidak dapat mencapai bagian dari otak. Penyebab tersebut bergantung pada lokalisasi kerusakan atau lesi tersebar maupun lokal.

c. Afasia Broca
Afasia Broca lazim disebut afasia ekspresif. Secara demikian kerusakan yang menyebabkan afasia Broca terletak di lapisan permukaan daerah Broca (lesi kortikal). Pada afasia ini, letak lesi adalah di daerah perisylvian kiri, di bagian posterior dari frontal convulition ketiga dekat dengan insula. Afasia ini memiliki karakter-karakter sendiri bila dibandingkan dengan afasia sensorik. Karakter tersebut ditandai dengan cara berbicara yang sulit, sehingga kata-kata yang dikeluarkan sedikit. Penderita tidak dapat mengatur sistem vokal untuk menghasilkan kata-kata.
Penderita stroke yang mengalami afasia Broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan bahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan dalam mengujarkan atau menirukan ujaran-ujaran bunyi vokal. Gejala utama pada penderita afasia Broca adalah kesulitan dalam bertutur yang dapat terjadi dalam berbagai derajat keparahan. Gejala-gejala lain yang menyertai afasia Broca adalah kelumpuhan anggota gerak tubuh bagian kanan, gangguan indera, perubahan tingkah laku, perubahan emosi, dan perubahan kepribadian (perubahan pada psikologisnya).
Kemampuan dan ketidakmampuan penderita dalam mengujarkan bunyi vokal didasarkan pada kerusakan yang terjadi pada otak. Pada afasia Broca, kerusakan otak disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang dapat menghasilakan perdarahan dalam otak.
Ujaran yang diucapkan oleh penderita sangat terbatas, hanya beberapa bunyi vokal seperti /a/, /i/, dan /u/. Penderita afasia Broca sulit dalam mengujarkan beberapa bunyi vokal meskipun sebenarnya ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Hal ini terbukti ketika ia diminta keterangan ia selalu mengangguk dan menggeleng.
Kemampuan penderita stroke dalam mengujarkan bunyi konsonan mengalami perkembangan yang tidak begitu besar dibanding dengan kemampuannya dalam mengujarkan bunyi vokal. Kemampuan mengujarkan bunyi konsonan sangat terbatas. Penderita hanya mampu mengujarkan beberapa konsonan dari keseluruh konsonan yang ada. Ketidakmampuan dalam mengujarkan beberapa konsonan tersebut mengakibatkan penyimpangan fonologis terhadap bunyi konsonan yang diujarkannya. Penderita mengalami kesulitan yang luar biasa. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh kerja otak yang tidak bisa mengorganisir pesan yang disampaikan ke otak bagian kiri (pemahaman bahasa) untuk dijadikan ujaran.