Selasa, 25 Agustus 2009

Film dan Ragamnya

1. Pengertian Film

Film merupakan sebuah bentuk karya seni. Sebagai sebuah kesenian, film terdiri atas berbagai bentuk kesenian yang hadir dan menyatu. Film dapat dikatakan sebagai sebuah seni pertunjukan yang bersifat audiovisual dan merupakan rangkaian dari seni drama atau teater, seni gerak, dan seni musik Selain itu, film merupakan alat komunikasi massa. Pesan dan komunikasi terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film. Tujuannya ada yang sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin keduanya.
Definisi lain mengenai film dikemukakan oleh Suprapto (1993:30) yang menyatakan bahwa film merupakan cerita atau lakon yang berupa gambar hidup. Setelah dunia perfilman berkembang pesat, pengertian film pun juga meluas. Undang-undang perfilman No. 6 Tahun 1997, Bab I, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar (audiovisual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, piringan video, atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya (Baksin, 2003:6).
Dari undang-undang perfilman di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan film tidak hanya sekadar film cerita yang diputar di bioskop, tetapi lebih dari itu. Film-film yang dibuat untuk televisi (termasuk sinetron) dan VCD bahkan hasil temuan lain nantinya di masa yang akan datang menggunakan asas sinematografi.
Sutrisno (1999:83) mengatakan bahwa film tidak hanya menunjukkan sebuah fiksi atau rekaan, drama, tari, musik, psikologi, agama, dan filsafat saja, tetapi film juga merupakan “jembatan” antara dunia fantasi dengan dunia nyata sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan film mudah mencekam dan juga meninggalkan ingatan lebih lama pada diri penontonnya.

2. Apresiasi Film

Setiap bentuk kesenian, seperti seni musik, seni sastra, seni tari, maupun seni rupa memerlukan apresiasi dari penikmat. Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran sebuah karya seni. Apresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungan dengan film dan pengalaman menikmati film, apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati, dan menghargai. Dalam hubungan dengan kegiatan menikmati film, jelas seseorang tidak akan dapat menikmati karya film sebelum ia memahami dan merasakan apa yang terkandung dalam karya film itu (Sumarno, 1996:95). Menghayati media komunikasi visual lebih sederhana tuntutannya dibandingkan dengan menghayati media yang lain. Media visual juga dipandang paling efektif, karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan tingkat pendidikan, usia, dan kecerdasan.
Monaco (Sumarno, 1996:27) menyatakan latar belakang sosial budaya justru mempengaruhi bagaimana seseorang menghayati film. Pengalaman dalam menikmati film menyerupai pengalaman dalam menghayati bahasa. Artinya, orang yang berpengalaman dalam menghayati film akan lebih banyak melihat dan mendengar dibandingkan dengan orang yang jarang melihat film, sehingga terjadilah suatu proses mental. Pada umumnya proses mental ini kurang disadari ketika seseorang menikmati sebuah film. Jadi, film juga harus dibaca tidak hanya sekedar ditonton saja.
Latihan mempersepsi dan memahami film yang disebut mengapresiasi film berguna untuk (1) memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukan film; (2) dapat menghargai film yang baik dan mengesampingkan film yang buruk; dan (3) dapat menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul dari film (Sumarno, 1996:28).
Apresiasi film harus dilakukan secara seimbang antara unsur estetik (keindahan) dan unsur progresif (muatan-muatan ide yang ditawarkan). Artinya, apresiasi terhadap film dilakukan tidak hanya berupa apresiasi seni, tetapi juga terhadap apresiasi kebudayaan yang melahirkan film itu.
Keseimbangan apresiasi ini membuat seseorang tidak akan terjebak pada pengertian seni untuk seni. Kemampuan film mengungkapkan sesuatu benar-benar tak terbatas, termasuk cara-cara pendekatan terhadapnya. Apresiasi yang seimbang dapat menempatkan pandangan film bukan sekadar barang dagangan atau hanya barang seni, melainkan juga karya ekspresi kebudayaan sebagai hasil penjelajahan dan pergulatan tentang kehidupan manusia.

3. Jenis-Jenis Film

Menurut Baksin (2003:93—94) berdasarkan temanya film terdiri dari sembilan jenis, yaitu (1) drama, (2) action, (3) komedi, (4) tragedi, (5) horor, (6) dramaaction, komeditrage, (8) komedihoror, dan (9) parodi.
Film drama mengetengahkan aspek-aspek human interest sehingga yang menjadi sasaran adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema film juga dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya. Jika kejadian ada di sekitar keluarga, disebut film drama keluarga. Jika kejadian itu dengan setting pembajakan, biasa disebut film drama pembajakan.
Film action, sesuai dengan istilahnya, selalu berkaitan dengan perkelahian, tembak-tembakan, atau kebut-kebutan. Film jenis ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi “pertarungan” secara fisik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Film komedi berbeda dengan lawak. Dalam lawak biasanya yang berperan adalah para pelawak. Film komedi tidak harus dilakonkan oleh pelawak, tetapi juga oleh bintan film biasa. Film komedi selain membuat penontonnya tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak, biasanya adegan film komedi juga merupa sindiran atau satir dari suatu kejadian atau fenomena yang sedang terjadi. Film komedi ada dua jenis, yaitu komedi slaptik dan komedi situasi. Komedi slaptik adalah komedi yang memperagakan adegan konyol, seperti sengaja jatuh, dilempar kue, dan sebagainya. Komedi situasi adalah adegan lucu yang muncul dari situasi yang dibentuk dalam alur film.
Film tragedi menitikberatkan pada nasib manusia. Sebuah film dengan akhir ceritanya sang tokoh selamat dari perampokan, kebanjiran, dan lainnya bisa disebut film tragedi.
Film horor merupakan sebuah film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan. Suasana horor dalam film ini bisa dibuat dengan cara animasi, special effect, atau langsung oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut.
Film drama action merupakan gabungan dari dua tema film, drama dan action. Film jenis ini menyuguhkan drama dan juga adegan pertengkaran fisik. Untuk menandainya dapat dilihat dengan cara melihat alur cerita film. Biasanya film dimulai dengan suasana drama, setelah itu alur meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang berupa pertengkaran-pertengkaran.
Film komedi trage, suasana komedi ditunjukkan terlebih dahulu kemudian disusul dengan adegan-adegan tragis. Suasana yang dibangun memang getir sehingga penonton terbawa emosinya dalam suasana tragis, tetapi terbungkus dengan suasana komedi.
Film komedi horor merupakan gabungan antara tema komedi dan horor. Biasanya film jenis ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Dalam konteks ini, unsur ketegangan yang bersifat menakutkan dibalut dengan adegan komedi sehingga unsur kengeriannya menjadi lunak.
Film parodi merupakan duplikasi dari tema film tertentu, tetapi diplesetkan sehingga ketika sebuah film parodi ditayangkan para penonton akan melihat suatu adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa. Penonton yang sering menonton film tentu saja paham kalau film parodi selalu mengulang adegan film lain dengan pendekatan komedi. Jadi, film parodi berdimensi duplikasi film yang sudah ada lantas dikomedikan.
Film (dalam Sumarno, 1996:10) dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film noncerita. Definisi lain mengenai film (dalam Apriaji, 2006:12) dibagi menjadi film cerita, film noncerita, film eksperimental, dan animasi.
Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film cerita memiliki berbagai jenis atau genre. Dalam hal ini, genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk, atau isi tertentu. Ada yang disebut film drama, film horor, film perang, film sejarah, film fiksi-ilmiah, film komedi, film laga (action), film musikal, dan film koboi.
Film noncerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jika film noncerita memiliki berbagai jenis, demikian pula yang tergolong pada film noncerita. Namun, pada mulanya hanya ada dua tipe film noncerita ini, yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film faktual.
Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta. Kamera sekedar merekam peristiwa. Saat ini film factual tetap hadir dalam bentuk fim berita (news reel) dan film dokumentasi. Film berita lebih menitikberatkan pada segi pemberitaan suatu kejadian aktual, misalnya film berita yang banyak terdapat dalam siaran televisi. Sementara itu, film dokumentasi hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi peristiwa perang atau dokumentasi upacara kenegaraan.
Film dokumenter, selain mengandung fakta juga mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.
Film eksperimental adalah film yang tidak dibuat dengan kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film.
Film animasi adalah film yang memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi. Prinsip teknik animasi sama dengan pembuatan film dengan subjek yang hidup, yang memerlukan ± 24 gambar per detik untuk menciptakan ilusi gerak. Sedikit banyaknya gambar per detik itu menentukan kasar dan halus pada ilusi gerak yang tercipta. Film animasi dengan materi rentetan lukisan di kertas yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan film kartun yang terbanyak diproduksi di mana-mana.

4. Unsur-Unsur Film
Unsur-unsur sebuah film serupa dengan unsur-unsur sebuah drama. Menurut Eneste (1991:19) ada empat unsur, yaitu (1) tema, (2) penokohan (karakter tokoh), (3) latar cerita atau setting, dan (4) alur. Berikut uraian dari keempat unsur-unsur film tersebut.

4.1 Tema Cerita
Film mempunyai tema tertentu, yakni inti persoalan yang hendak diutarakan atau disampaikan oleh pembuat film kepada penonton. Tema itu harus dituangkan dalam gambar-gambar sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Besar kecilnya tema film bukan merupakan jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keterbasan tema juga dibatasi oleh keterbatasan teknis film. Kalau tema yang difilmkan terlalu luas, maka waktu putarnya akan lebih lama. Inti cerita atau premise akan menjadi dasar dalam bentuk plot cerita (plotline).

4.2 Penokohan (Karakter Tokoh)
Seperti halnya drama, film juga mempunyai tokoh atau pelaku. Penokohan dalam film diungkapkan melalui berbagai cara, antara lain pengungkapan dialog tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, perbuatan tokoh, lingkungan tokoh, dan lain-lain. Tokoh dalam film hadir langsung di hadapan penonton, dari penampilan tokoh film secara langsung, penonton dapat mengetahui sifat atau karakter, sikap, dan kecenderungan sang tokoh. Gambar-gambar yang nampak dalam film akan berbicara sendiri mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam film.
Karakter adalah pemain yang melakukan dialog dalam scene dan selalu ditulis dalam huruf besar. Karakter dapat berupa manusia (laki-laki dan perempuan), hewan, robot, komputer, atau makluk-makluk tertentu yang berperan dalam isi dialog. Karakter dalam skenario mencerminkan peranan, emosi, keterampilan, dan tugas-tugas yang diembannya. Jalannya sebuah cerita dalam skenario ditentukan dari gerak dan motivasi sang karakter.
Secara garis besar terdapat 5 pembagian jenis-jenis karakter yang mewarnai sebuah cerita (Set & Sidharta, 2003:74). Pertama, Karakter protagonis. Karakter ini sering disebut sebagai karakter utama. Ia mewakili sisi kebaikan dan mencerminkan sifat-sifat kebenaran yang mewarnai setiap aktivitasnya dalam cerita. Pada beberapa naskah, karakter ini biasanya mewakili sosok pahlawan, pembela kebenaran, atau tokoh yang memikul tanggung jawab.
Kedua, Karakter sidekick. Karakter ini berpasangan dengan karakter protagonis. Tugasnya membantu setiap tugas yang diemban sang karakter protagonis. Karakter ini biasanya bertindak sebagai teman, guardian, penolong atau guru yang membantu sang protagonis.
Ketiga, Karakter antagonis. Karakter antagonis selalu berlawanan dengan karakter protagonis. Ia selalu berupaya menggagalkan setiap upaya karakter protagonis dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Kita sering melihat karakter ini dilambangkan sebagai musuh atau orang jahat yang berhadapan langsung dengan tokoh protagonis.
Keempat, Karakter kontagonis. Kontagonis adalah karakter yang membantu setiap aktivitas yang dilakukan karakter antagonis dalam menggagalkan langkah sang protagonis. Tokoh ini biasanya dilambangkan sebagai tokoh yang licik.
Kelima, Karakter skeptis. Sesuai dengan sifat skeptis yang disandangnya, tokoh ini adalah karakter tokoh yang paing tidak peduli terhadap aktivitas yang dilakukan sang tokoh protagonis . Ia selalu menganggap tokoh protagonis sebagai pecundang. Walaupun bukan lawan, tokoh ini selalu meuncul mengacaukan segala rencana yang dijalankan sang protagonis. Tokoh ini biasa dilambangkan sebagai tokoh yang keras kepala atau tokoh yang selalu mencurigai gerak-gerik tokoh protagonis.

4.3 Latar Cerita (Setting)
Setting adalah tempat dan berlangsungnya cerita film (Sumarno, 1996:66). Setting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton. Pertama, setting menunjukkan tentang waktu atau masa berlangsungnya cerita. Kedua, tentang tempat terjadinya peristiwa, bagaimana dengan lingkungan masyarakatnya, adat kebiasaan, semua itu harus disampaikan dengan tepat sebab syarat utama sebuah film harus tampak meyakinkan.
Penciptaan setting berarti penciptaan konsep visual secara keseluruhan. Hal itu juga menyangkut pakaian-pakaian yang harus dikenakan pada tokoh film, bagaimana tata riasnya, dan barang-barang (properti) apa yang harus ada.
Latar dalam film mempunyai fungsi dramatik. Oleh sebab itu, seorang penulis skenario dalam mencari properti yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak properti yang tersedia dalam kehidupan ini. Properti tersebut harus mampu berbicara kepada penonton film, tanpa penjelasan apa-apa dari penulis skenario atau sutradara.

4.4 Alur (Plot)
Plot adalah jalan cerita atau alur cerita awal, tengah, dan akhir (Set & Sidharta, 2003:26). Struktur plotline yang diawali dengan konflik, komplikasi, dan resolusinya biasa disebut dengan struktur dasar dalam membangun sebuah cerita.
Set & Sidharta (2003:30) menjelaskan plotline terbagi menjadi 3, yaitu Pertama, Awal – konflik A dan perkenalan konflik B. Cerita berawal dengan pengenalan tokoh utama dan dunianya. Tokoh ini menginginkan sesuatu, namun sesuatu itu berbenturan dengan dunianya. Berbagai masalah muncul sehubungan dengan usaha tokoh utama dalam mencapai tujuannya. Pada saat yang sama tokoh lain yang berhubungan dengan tokoh utama juga mempunyai konflik yang tidak terpecahkan. Pada akhir babak pertama tokoh utama telah memutuskan untuk mengejar apa yang ia inginkan.
Kedua, Tengah – komplikasi masalah, resolusi sementara konflik utama, resolusi konflik minor. Konfik tokoh utama menjadi lebih rumit karena benturan dengan dunianya lebih keras dari yang ia duga. Masalah-masalah yang ada lebih susah dari yang ia kira. Ia memutuskan untuk meninggalkan dunianya dan memasuki dunia yang lain. Keputusan memberikan solusi sementara yang berakibat dunia lamanya berantakan sehingga tokoh utama menarik dirinya dari dunia baru dan kembali ke dunia lama. Sementara itu, konflik minor yang dihadapi tokoh pembantu menemukan solusinya meskipun mungkin tidak sepenuhnya terselesaikan. Tokoh utama mendapati dunia lamanya tidak menarik lagi, tetapi ada konflik baru yang menghadangnya sehingga ia berada di persimpangan jalan atau titik point of no return dan ia harus memutuskan melalui deux et machine (kejutan atau tangan Tuhan) atau solusi natural, apakah ia akan berusaha mendapatkan dunia barunya atau tetap berada di dunia lama.
Ketiga, Akhir – Resolusi masalah utama, resolusi masalah lainnya. Tokoh utama menyadari bahwa untuk menyelesaikan konflik dunianya tidak akan bisa sama lagi. Tokoh utama memasuki dunia baru dimana dia mendapatkan/gagal apa yang ia inginkan. Plotline B harus sudah mencapai solusinya di tengah babak 3. Plotline A mendapat solusinya di akhir cerita, baik sedih atau bahagia.
Film mempunyai keterbatasan ruang teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu, film sering memakai alur tunggal saja. Walaupun demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Dalam sebuah film seorang sutradara harus memperhatikan unsur ketegangan. Hal ini dimaksudkan untuk memancing rasa ingin tahu penonton supaya mengikuti cerita film secara keseluruhan.

0 komentar:

Posting Komentar