Senin, 23 Februari 2009

Catatan Sebuah Kisah

Catatan Sebuah Kisah

Setahun yang lalu, tepatnya 4 Februari 2008, aku bertemu dengan seorang lelaki. Itupun kalo nggak karena tugas akhir dari salah satu matakuliah yang harus kutempuh, aku nggak akan mungkin bertemu dengan lelaki itu. Yups, salah satu kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang mahasiswa pada akhir masa-masa studinya adalah “Praktek Lapangan”. Dan bertemulah aku dengan lelaki itu.
Kesan pertama yang aku dapet dari lelaki itu, “cakep bo!!!”. Nggak bisa dipungkiri lelaki itu emang cakep meskipun ndut, hehe. Tinggi sekitar 165—170 cm, rambut agak keriting, kulit putih, tampang boleh dibilang lumayan keren (apalagi ya?? Rada-rada lupa ma ciri-cirinya), pesonanya berhasil memikat beberapa wanita yang menjadi rekanku se tim (mungkin termasuk aku). Aku lupa gimana ceritanya pertama kali aku kenal ma dia. Seingatku, mungkin karena kita berdua sering berada di meja yang sama gara-gara laptop kali. Yang jelas aku bener-bener lupa gimana kejadiannya waktu itu.
Hari demi hari, waktu demi waktu, akhirnya hubungan pertemanan kami makin dekat. Bisa diakui, dia cukup memiliki otak yang encer mengenai dunia komputer dan teknologi, alhasil aku pun sering mendapatkan ilmu yang ia miliki tentang komputer dan teknologi. Lumayan buat tambahan ilmu biar gag gaptek bu...gratis pula. Satu dari sekian peristiwa yang kuingat, dimana aku harus kembali bermasalah dengan “six sence” yang kumiliki. Seperti yang kulihat, dia memberikanku sebuah film (nggak tau judulnya apaan???). Katanya sih, kisah yang ada di film itu persis dengan peristiwa yang aku alami. Waa, baik bener ya?? Apalagi sama temennya...
Dari semula yang hubungan kami hanya berteman saja, lambat laun aku mulai mengaguminya. Dulu aku beranggapan bahwa ia adalah lelaki sempurna. Alhasil, kuputuskan untuk menyukainya. Gayung pun bersambut, selidik punya selidik, ia pun juga memliki perasaan yang sama denganku. Duh, senangnya!! Kontan saja, dengan semakin dekatnya hubungan kami, juga membuat beberapa wanita di rekan se timku kebakaran jenggot. Ada yang bilang, “waa, kenapa tu cowok ma cewek itu? Aku khan lebih cantik dari cewek itu!”, plus lain-lain yang belum aku dengar. Aku sih cuek aja. Masa bodo sama omongan-omongan itu. Untung aja waktu itu ada sahabat plus soulmate yang udah kuanggap sebagai saudaraku sendiri yang selalu menyemangatiku. Kalo nggak ada dia, mungkin mereka udah pada ku babad abis-abisan.
Suatu hari, akhirnya dia mengajariku tentang suatu hal yang berkaitan dengan komputer dan internet (yang lagi-lagi aku lupa apa pembahasannya). Kami pun sepakat untuk bertemu di hari Minggu, karena di hari itulah kami sama-sama memiliki jadwal yang kosong. Setelah ayik berutak-atik dengan komputer dan permasalahannya, kami makan di suatu tempat favoritku. Lalu kami pun asyik pula mengobrol. Tiba-tiba dia bilang sesuatu padaku. Kalo nggak salah dia pernah bilang, “Kamu adalah bagian dari hidupku”. Itu yang kuingat ucapannya. Wow, kaget juga sih dengerin kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya.
What the meaning? Oh..my God, this is the name of true love??
Ternyata pikiranku salah total. Setelah peristiwa yang kuanggap sebagai “kencan pertamaku” yang aku jalani beberapa hari sebelumnya, tiba-tiba sikap dia berubah. Aku nggak tau apa salah dan dosaku padanya. Bingung euy, koq tiba-tiba ia kesetanan seperti itu. Yang semulanya baik, berubah seperti preman yang mau ngerampok korbannya. Sadis amat. Marah, sedih, gelisah, bingung campur aduk rasanya waktu tahu kenapa sikapnya berubah. Ketemu di tempat praktek selalu menghindar, ketemu muka aja nggak mau apalagi menyapaku. Dan akhirnya, aku pun menangis karena dia. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia begini dan kenapa dia begitu? Banyak sekali pertanyaan yang menumpuk di otakku.
Untuk mengetahui jawabannya, akhirnya kuputuskan untuk membuat suatu rencana. Tujuannya cuma satu kok. Aku ingin tahu gimana perasaan dia yang sebenarnya padaku? Itu aja nggak ada yang laen. Sesuai dengan saran sahabatku yang sudah kuanggap seperi saudaraku sendiri, aku pun melakukan rencana itu. Nggak sendiri, bersama sahabatku kujalani skenario ini. Sayang, skenario ini nggak berjalan mulus seperti yang ada di pikiranku dan sahabatku. Alhasil, skenario yang kita susun baik-baik dari awal sampai akhir, aknirnya terbongkar juga. Teman-teman se timku curiga dengan skenario kami. Dan, kami pun terjebak pada skenario yang kami buat sendiri. Kesalnya lagi, lelaki yang sudah ku puja-puja sebagai lelaki terbaik yang ada dalam hidupku, nggak mau membantuku sedikit pun. Ia malah ikut-ikutan menghakimi kami berdua. Aku bener-bener kecewa sama sikapnya. Kemarin ia bilang cinta, ia bilang aku adalah bagian dari hidupnya yang nggak mungkin hilang, tapi sekarang ia tak lebih dari seorang pengecut di hadapanku.
Marah dan kecewa. Dua sikap itulah yang menghampiriku. Ingin sekali ku bantai abis-abisan rekan se timku, lebih-lebih lelaki pengecut itu. Apa ini yang dinamakan cinta? Apa ini yang dinamakan “Kau adalah bagian dari hidupku?”. Dia nggak pernah mau jujur sama hatinya sendiri bahwa diantara kami ada sesuatu hubungan yang istimewa. Ia munak untuk mengakui kata-katanya, mengakui sikapnya padaku, mengakui hatinya padaku. Sungguh aku benar-benar kecewa. Lebih lagi, ada seorang rekanku dalam tim yang bilang bahwa aku bermimpi, aku merendahkan harga diriku hanya untuk mendapatkan cinta dari lelaki itu. Ugh, emosiku meledak-ledak mendengar ucapan itu. Ingin rasanya aku melemparkan benda-benda tajam yang ada di depanku ke muka dia biar dia ancur sekalian wajahnya. Hallo??? Hari gini aku mimpi dapetin lelaki brengsek itu!! Hari gini aku mengemis cinta sama lelaki busuk itu!! Nggak zamannya kalee. Lelaki itu dulu yang mengatakan cinta padaku dan bukan aku yang bermimpi ya mbak!! Bukan aku duluan yang mengemis-ngemis cinta sama dia!! Untungnya, di saat situasi yang menyebalkan seperti itu, masih ada wanita yang menentramkan amarahku. Wanita itu tak lain adalah sahabatku sendiri. Ia selalu memberikanku semangat dan dorongan untuk selalu sabar dalam menghadapi caci maki dari orang-orang jahanam itu (yang tak lain adalah teman-teman dari pecundang itu).
Akhirnya, aku pun bisa bernapas lega karena masa praktek yang harus aku jalani pun segera berakhir. Thanks God, finally aku nggak akan pernah bertemu lagi dengan orang-orang jahanam terutama si pecundang kelas kakap itu. Itulah catatan sebuah kisah yang awalnya membuatku cinta mati sama lelaki itu akhirnya menjadi benci. Dan aku pun tau jawabannya. Ia bukanlah lelaki sempurna dan bukanlah lelaki terbaik yang aku miliki. Sungguh munafik ya, ia sendiri yang bilang padaku bahwa aku adalah cintanya, aku adalah bagian dari hidupnya. Namun, ia mengingkari kata-katanya sendiri, lebih-lebih di hadapan teman-temannya. Aku kecewa karena ia nggak mau jujur sama kata hatinya.
Setahun pun berlalu, rasa sakit di hatiku masih muncul jika aku tiba-tiba mengingat peristiwa itu. Peristiwa itu kuanggap sebagai musibah. Namun, pada akhirnya aku pun bisa melupakan semua yang terjadi padaku saat itu dan menata hidupku kembali. Itulah sebabnya, di awal-awal cerita aku sering menuliskan kata-kata lupa. Aku sendiri udah nggak mau tau tentang lelaki pecundang itu. Makanya, aku hapus semua ingatanku tentang dia. Rugi banget inget lelaki pecundang itu, buang-buang pikiran aja. Ya nggak?? Terakhir yang ku dengar kabarnya, akhir bulan ini dia mo married dan mengejar salah satu mimpinya. Lagi-lagi,
I don’t care about him.
Kita disakiti karena cinta, pasti nantinya kita akan bahagia pula karena cinta itu. Satu pelajaran hidup yang dapat kuambil dari catatan kisahku, jangan pernah mencintai seseorang karena parasnya tapi cintailah seseorang karena hatinya. Karena itulah yang akan membuat hati kita bahagia.

Tulisan ini adalah sebuah kisah tentang hidupku. Bukannya nggak percaya sama makhluk Tuhan yang biasa disebut cowok, cuman ini adalah kisah terpahit yang pernah aku alami di sepanjang hidupku.
Thanks God, atas nikmat hidup yang begitu indah
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..

0 komentar:

Posting Komentar